Minggu, 28 Juni 2015



STUDI PENGGUNAAN POTASIUM CHLORIDE (KCI) POLYMER
PHPA PADA LUMPUR PEMBORAN UNTUK MENGATASI
SWELLING CLAY SUMUR NR-30HZ
TUGAS AKHIR
Dibuat Untuk Memnuhi Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Diploma III Pada Program Studi Teknik Eksplorasi Produksi Migas
Politeknik Akamigas Palembang


Oleh :

Very Suharyadi         NPM : 0903022




PROGRAM STUDI TEKNIK EKSPLORASI PRODUKSI MIGAS
POLITEKNIK AKAMIGAS PALEMBANG
2015

LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS AKHIR


Studi Penggunaan Potasium Chloride (KCI) Polymer PHPA Pada Lumpur Pemboran Untuk Mengatasi Swelling Clay Sumur NR-30HZ


Dibuat Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Diploma Iii Pada Program Studi Teknik Eksplorasi Produksi Migas
Politeknik Akamigas Palembang

Oleh :
Verry suharyadi        0903022

                                                                               Palembang,     September 2015
Pembimbing I                                                                 Pembimbing II



K. Moh. Ade Isnaeni, ST,                                               Raditya, ST,


Ketua Program Studi                                                      Direktur,
Tenik Eksplorasi Produksi Migas                                  Politeknik Akamigas Palembang



Ana Asmina, ST,                                                H. Muchtar Luthfie, SH., MM,  


POLITEKNIK AKAMIGAS PALEMBANG
Kantor pusat administrasi    : Jln. Kebon jahe komperta plaju.
                                                              Telp.(0711) 7320800, 595595 Fax,(0711)
Kamnpus                               : Jln. Rampai Komperta Plaju
   Telp. (0711) 595597
HALAMAN PERSETUJUAN

Judul Tugas Akhir                : “Studi Penggunaan Potassium Choloride                 
                                                     (KCL) Poliner PHPA pada lumpur pemboran
                                                   untuk mengatasi swelling clay sumur NR-
                                                   30HZ”
Nama Mahasiswa / NPM      : Verry Suharyadi                       NPM : 00903022
Program Studi                       : Teknik Eksplorasi Produksi Migas
Telah diuji dan Lulus pada  :
Hari                                        : Selasa
Tanggal                                  : 28 Agustus 2012
Tim Penguji                           :
Nama                                                  Jabatan                                  Tanda Tangan
1.      K. Moh. Ade Isnaeni, ST           Ketua              (                                   )
2.      Raditya, ST                                 Sekertaris       (                                   )
3.      Roni Alida, ST                            Penguji I         (                                   )
4.      Roby Cahyadi, ST                     Penguji II       (                                   )
5.      Azka Roby Antari, ST               Penguji III      (                                   )

Palembang, 4 September 2012
Ketua Program Studi,
                      Teknik Eksplorasi Produksi Migas,


Ana Asmina, ST
ABSTRAK
Evaluasi Penggunaan Potassium Chloride (KCL) Polimer PHPA Pada Lumpur Pemboran Untuk Mengatasi Swelling Clay Sumur NR-30HZ


           
Pada operasi pemboran mengalami hambatan yang mengganggu jalanya operasi pemboran baik dari segi tenaga, waktu maupun biaya yang akhirnya tidak sesuai dengan rencana. Hambatan yang terjadi disebabkan adanya lapisan shale yang reaktif dan filtrate lumpur yang menyebabkan rangkaian drill string terjepit, adanya, ukuran cutting yang cukup besar, aliran annulus yang tidak lancer. Pada saat pemboran menembus formasi telisa pada kedalaman 2079 ft yang didominasi lapisan shale.
Adapun metodologi yang digunakan dalam evaluasi penggunaan lumpur KCL polymer PHPA adalah dengan memperkirakan klasifikasi dan karakteristik clay dengan uji Methylene Blue (MBT), melakukan perbaikan sifat fisik lumpur untuk menjaga agar lumpur dapat bekerja secara optimal dan menjaga kestabilan lubang bor yang ditembus.
Jenis clay yang ada di sumur NR-30H setelah uji Methlylene Blue dan melakukan perhitungan CEC-nya sebesar 8,775 meq/100gr pada kedalaman 2096 ft, jenis clay ini termasuk dalam klasifikasi kelas “C” dalam klasifikasi umum clay, yang didominasi mineral montmorillonite. Dimana formasi ini berpotensi terjadinya swelling clay.
Penanganan problem swelling clay dengan perbaikan sifat fisik lumpur yaitu : Menambahkan Chemical Potassium Chlorida (KCL) 2-4% sebesar 10.200 mg/I  dari volume lumpur ditangki untuk mengatasi pengembangan dari clay, mengurangi / menjaga fluid loss < 8 ml / 30 menit. Jika terjadi mud ring, tambahkan deterjen (condet) untuk mengatasi clay yang lengket pada rangkaian pipa bor. Penanganan secara mekanis pun dilakukan untuk mengatasi hal yang terjadi yaitu : dengan melakukan cabut rangkaian dengan overpull, melakukan reaming dan wash down saat niak turun rangkaian.
Kata kunci       : Methalyne Blue ( MBT), perhitungan CEC, dan Chemical potassium Chlorida (KCL)




ABSTRACT
Evaluation Of Use Chloride(KCL) Polymer PHPA In Mud
Drilling Wells To Overcome Swelling Clay NR-30HZ

In drilling operation have obstacles that interfere with the course of drilling operation both in terms of manpower, time and cost are ultimately not in accordance with the plan. The bottleneck caused by the reactive shale layer with filtrate causing swelling clay wich caused a series of drill string stuck, it is, cutting a large enough size, annular flow is not smooth. At the time of drilling throught the formation at a depth of 2079 ft Telisa dominated by shale layers.
The methodology ised in the evaluation of the use of KCL polymer mud PHPA is by estimating the classification and characteristics of clay with Methylene  Blue Test (MBT), do the repairs the physical properties of yhe mud to keep the mud can work optimally and maintain a stable borehole penetrated.
Types of clay in the well after the test NR-30HZ Methylene Blue and calculate the CEC of 8775 at a depth of 2096 ft meq/100gr, type of clay is include in the classification of a class “C” in the general classification clay, montmorillonite minerals dominated. Where the formation is the potential accurrence of swelling clay.
Handling of problems of swelling clay with improved physical properties Lumpu namely : Chemical Adding potassium Chloride (KCL) 2-4% by 10,200 mg / 1-18,000 mg / 1 of the volume of sludge in the tank to overcome pengembangan of clay, reduce / maintain fluid loss<8ml/30 minutes. If there is mud ring, add detergen (Condet) to tackle the sticky clay on a series of drill pipe. Handling of mechanically was done to overcome the barriers that occur : by doing pull circuit with overpull, performing reaming and wash down while riding down the circuit.


Keywords : Methylene Blue (MBT), the calculation of the CEC, and the CHL Chemical potassium chloride potassium (KCL)




Motto :
“Sholat ku, Hidup ku, dan Mati ku Hanya untuk Allah SWT.
  Hanya Engkau yang aku tuju dan hanya mengharapkan Ridho-Mu
  Dengan Cinta-Mu”

Kupersembahkan kepada :
ᾡ Bapak dan Ibu tercinta atas Do’a , Kasih Sayangnya dukunganya, dan cucuran materi yang engkau berikan, hingga aq mendapat gelar Diploma III  Politeknik Akamigas Palembang.

ᾡ Guru Sejati ku, Pembimbing ku, dan saudara ku (Hakikat Insan) atas Do’a dan Dukunganya.

ᾡ Sonny Ferriyan atas bimbinganya,, dan dukunganya di dalam Dunia Drilling Fluids.

ᾡ Teman – teman seperjuangan angkatan 2009 Teknik Eksplorasi Produksi MIgas.
ᾡ Almamater ku Politeknik Akamigas Palembang.



KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke-Hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Lapangan ini, yang disusun guna memenuhi syarat kurikulum pada Program Studi Teknik Eksplorasi Produksi Migas Politeknik Akamigas Palembang.
Dalam proses penulisan laporan ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik merupakan moril maupun materil. Sehubungan dengan itu melalui tulisan ini penulis ini ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada : K. Moh. Ade Isnaeni, ST selaku pembimbing utama dan Sonny Ferriyan, ST selaku pembimbing Lapangan. Bersamaan dengan itu, penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.      Bapak H. Muchtar Luthfie, SH., MM, selaku Direktur Politeknik Akamigas Palembang.
2.      Ibu Amiliza Miarti, ST., M.Si, selaku Pembantu Direktur Bidang Akademik Politeknik Akamigas Palembang.
3.      Ibu Ana Asmina, ST, selaku Ketua Program Studi Tekbik Eksplorasi Produksi Migas Politeknik Akamigas Palembang.
4.      Bapak Y. Andjar Setyadi, selaku Manager PT. Pertamina Drilling Services Indonesia Onshore Drilling Area Sumbagsel – Prabumulih.
5.      Bapak Gandhi Sutrisno, selaku Rig Superintendent Emsco D2/38 sekaligus pembimbing Lapangan tempat mengadakan Praktek Kerja Lapangan.
6.      Bapak Sonny Ferriyan, ST, selaku pembimbing Lapangan, sebagai Mud Enginering CPM Drilling Fluids, PT. Ciba Pamenang Menkaraya pada sumur NR-30HZ Lapangan Ubep Limau PT. Pertamina Drilling Services Indonesia.
7.      Bapak K. Moh Ade Isnaeni, ST, selaku pembimbing pada Program Studi Teknik Ekslporasi Produksi Migas Politeknik Akamigas Palembang.
8.      Bapak Raditya, ST, selaku pembimbing Lapangan Tugas Akhir telah banyak membantu penulis selama dilapangan.
9.      Bapak dan Ibu Staf Dosen pada Program Studi Teknik Eksplorasi Produksi Migas, Politeknik Akamigas Palembang.
10.  Seluruh staf dan karyawan PT. Pertamina Drilling Service Indonesia Onshore Drilling Area Sumbagsel.

Semoga amal baik yang diberikan mendapatkan imbalan yang sesuai dari Allah SWT. Penulis menyadari Laporan Praktek Kerja Lapangan ini jauh dari sempurna oleh karena itu kritik dan saran sangan penulis harapkan untuk kesempurnaan Laporan Praktek Kerja Lapangan ini. Laporan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca, juga bagi penulis sendiri serta bagi Program Studi Teknik Eksplorasi Produksi Migas Politeknik Akamigas Palembang.


                                                                        Palembang,  Agustus  2012


                                                                        Penulis











DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL            .................................................................................   i
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................   ii
BUKTI PERBAIKAN TUGAS AKHIR HASIL UJIAN .....................  iii
HALAMAN PERSETUJUAN TIM PENGUJI.....................................   iv
ABSTRAK .................................................................................................  v
ABSTARCT ..............................................................................................   vi
KATA PENGANTAR ..............................................................................  vii
DAFTAR ISI ..............................................................................................  ix
DAFTR TABEL ........................................................................................  xi
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. xii
DAFTAR TAMPILAN .............................................................................. xiii

BAB I.            PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................     2
1.2. Batasan Masalah ....................................................................     2
1.3. Tujuan ....................................................................................     3
1.4. Manfaat ..................................................................................     3
BAB II.DASAR TEORI
              2.1. komposisi Lumpur Pemboran ..............................................     4
                        2.1.1. Fasa Cair ..................................................................    4
                        2.1.2. Fasa Padat ................................................................    5
                                    2.1.1.1.. Reactive Solids .........................................   5
                                    2.1.1.2. Insert Solids ...............................................   6
                        2.1.3. Additive .....................................................................  6

            2.2. fungsi Lumpur Pemboran .........................................................  7
2.3. sifat Fisik Lumpur Pemboran .....................................................................11
            2.3.1. densitas ........................................................................................11
            2.3.2. Rheologi (Sifat Aliran) ................................................................12
                        2.3.2.1. Viscositas Plastik ..........................................................13
                        2.3.2.2. Yield Point ....................................................................13
                        2.3.2.3. Gel Strength ..................................................................14
            2.3.3. Filtration Loss dan Mud Cake ......................................................14
            2.3.4. Ph Lumpur Pemboran...................................................................14
            2.3.5. Kandungan NaCL (CT) ...............................................................14
2.4. Jenis-jenis Lumpur Pemboran .....................................................................16
            2.4.1. Water Base Mud ..........................................................................16
                        2.4.1.1. Fresh Water Mud ..........................................................16
                        2.4.1.2. Salt Water Mud .............................................................16
            2.4.2. Emultion Mud ..............................................................................17
                        2.4.2.1. Oil In Water Emulsion Mud .........................................17
                        2.4.2.2. Water In Oil Emulsion Mud .........................................18
            2.4.3. Oil Based Mud .............................................................................18
2.5. Lumpur Polymer .........................................................................................19
            2.5.1. Fungsi Lumpur Polymer Dalam Pemboran .................................21
                        2.5.1.1. Viscofier (Pengental) ....................................................22
                        2.5.1.2. Flokulan (Penggumpal) ................................................22
                        2.5.1.3. Bentonite Extender (Peningkat Daya Guna Bentonite) 24
                        2.5.1.4. pH Control Agent .........................................................24
                        2.5.1.5. Filtration Control Agent ...............................................24
                        2.5.1.6. Penstabil Shale .............................................................25

2.6. Lumpur KCI Polimer (PHPA) ..................................................................25
2.7. Shale .........................................................................................................29
            2.7.1. Struktur Mineral Clay ................................................................29
            2.7.2. Klasifikasi Mineral Clay ............................................................31
            2.7.3. Jenis-jenis Shale .........................................................................33
                        2.7.3.1. Gembo Shale ................................................................34
                        2.7.3.2. Preasure Shale .............................................................35
                        2.7.3.3. Swelling Shale .............................................................36
                        2.7.3.4. Streested Shale (Sloughing Shale) ...............................36
2.7.4. Problem Shale .............................................................................37
            2.7.4.1. Sebab-sebab Problem Shale .........................................37
            2.7.4.2. Faktor-faktor Ketidakstabilan Shale ............................38
            2.7.4.3. Mekanisme Hidrasi Shale ............................................39
            2.7.4.4. Kekuatan Hidrasi Shale ...............................................40

BAB III          METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Pikiran Penelitian ...........................................................43
3.2. Pemboran Sumur NR-30HZ Lapangan UBEP LIMAU .................46
3.3. Identifikasi Problem Swelling Clay pada saat menembus sumur NR-
       30HZ ...............................................................................................46
3.4. Penyebab Swelling Clay pada sumur NR-30HZ Lapangan UBEP
       LIMAU ...........................................................................................48
3.5. Penanggulangan Swelling Clay pada sumur NR-30HZ Lapangan
       UBEP LIMAU ................................................................................48
3.6. Prosedur mengatasi problem Swelling Clay pada sumur NR-30HZ
       Lapangan UBEP LIMAU ...............................................................52
3.7. Hasil dari melakukan perbaikan pada lumpur dengan menggunakan 
       KCL Polymer PHPA ......................................................................52
3.8. Menentukan klasifikasi dan tingkat kereaktifan shale dengan
       metodologi MBT ...........................................................................54

BAB IV          HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB V            KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA




















DAFTAR TABEL

Table                                                                                                  Halaman
II-1. Bahan Kimia Lumpur     ......................................................................3.
II-2. Material – Material Pemberat     ...........................................................9
II-3. BEC Mineral Clay          ....................................................................... 28
II-4. Klasifikasi Umum Shale             ...........................................................30
II-5. Klasifikasi Shale berdasarkan Problem yang terjadi       .......................31
III-1. Klasifikasi Umum Shale            ...........................................................52















DAFTAR GAMBAR

Gambar                                                                                              Halaman
2.1. Mekanisme Floklan2)        .......................................................................20
2.2. Struktur Sodium Acrilate dan Sodium Acrylamide8)          .......................23
2.3. Struktur PHPA8   ...................................................................................23
2.4. Pembentukan Hydrolyzed Polyacrylamide3         ...................................24
2.5. Skema diagram (a) Silica tetrahederal tunggal & (b)                 ..........27
2.6. Hidrasi pada Mineral Clay          ............................................................38
3.1. Diagram Alir Kerangka Pikiran   ............................................................41
3.2. Rencana Well Profil Sumur NR-30HZ    ................................................42
3.3. Hasil Titrasi Methylenen Blue untuk sampel cutting sumur “NR-30HZ” pada
       kedalaman 2096 ft           ........................................................................51
3.4.  Hasil Titrasi Methylene Blue Kandungan Clay Yang Terdapat Pada Lumpur
        Pemboran sumur NR-30HZ pada kedalaman 2096 ft    ........................53









DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A
·         Profil Rig Emsco D2/38 .........................................................
Lampiran B
·         (DMR) Drilling Mud Report ..................................................
Lampiran C
·         Sifat Fisik Potassium Chloride (KCI) ...................................
Lampiran D
·         Drilling Program Summary ..................................................
Lampiran E
·         Lay Out Mud Tank .................................................................
Lampiran F
·         Perhitungan Tekanan Formasi dengan D-exponent ...........























BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.  Latar belakang
Operasi pemboran merupakan kegiatan yang tidak bias lepas dari kegiatan produksi sumur. Tujuan dari kegiatan pemboran tidak hanya melakukan pemboran secara aman dan efisien tetapi juga mampu menjaga agar sumur dapat berproduksi dengan baik, efisien operasi pemboran sangat dipengaruhi oleh jenis sifat lumpur yang digunakan, oleh sebab itu pemilihan jenis lumpur menjadi sangat penting artinya. Kinerja suatu lumpur pemboran akan menetukan cost effective performance dari pemboran tersebut, sehingga salah satu hal penting dalam pelaksanaan pemboran adalah mendesain sistem lumpur yang baik. Dimana lumpur ini akan berhubungan langsung dengan formasi yang akan ditembus.
Dalam laporan tugas akhir ini, penulis mencoba membahas tentang evaluasi penggunaan lumpur KCI polymer PHPA. Dengan penggunaan lumpur KCI polymer PHPA diformulasikan sebagai sistem lumpur polymerlow – solids Non-Dispersed” (LSND) yang cocok untuk formasi shale yang terjadinya Swelling Clay. Dimana ion-ion potassium (K) berperan sebagai inhibitive terhadap mengembangnya mineral clay monmorilonite, dengan cara menggantikan posisi ion-ion sodium (Na+) dari montmorilonite, pemakaian polymer berfungsi ganda yaitu memberikan efek pembungkusan dari permukaan shale dan barnite sekaligus bertindak sebagai viscosifer dalam lumpur, sehingga volume filtrate lossnya dapat diperkecil.
1.2. Batasan Masalah
Masalah lumpur pada saat operasi sering terjadi, yang menyebabkan rangkaian pipa pemboran terjepit dikarenakan adanya clay yang mengembang. Maka penulis membatasinya untuk mengatasi permasalahan tersebut pada sumur NR-30HZ dengan menggunakan lumpur pemboran KCI polymer PHPA.
1.3. Tujuan
            Adapun tujuan laporan tugas akhir ini adalah :
1.      Mengetahui jenis clay dan didominasi mineral melalui proses uji Methylene Blue (MBT)
2.      Mengetahui dari data daily fluid report untuk mengatasi swelling clay pada sumur NR-30HZ dengan menggunakan lumpur KCI.
3.      Mengetahui shale problem secara visual dampak pengaruh filtrate lumpur yang terhidrat oleh clay yang reaktif terhadap air.
4.      Mengetahui penggunaan konsentrasi KCI untuk mengatasi swelling clay.
1.4. Manfaat
            Dengan  selesainya penulisan tugas akhir ini nantinya penulis berharap mempunyai manfaat yaitu :
1.      Memperdalam pengetahuan penulis mengenai lumpur pemboran.
2.      Menambah pengetahuan penulis mengenai penggunaan KCI polymer PHPA yang cocok untuk formasi shale yang terjadinya swelling clay.
3.      Menambah pengetahuan penulis mengenai klasifikasi clay dan jenis meniralnya melalui uji Methylenen Blue (MBT)



BAB II
DASAR TEORI
            Pada mulanya hanya menggunakan air saja untuk mengangkat serpih pemboran (cutting). Kemudian dengan berkembangnya pemboran, lumpur mulai digunakan. Komposisi dan sifat-sifat lumpur pemboran sangat berpengaruh pada suatu operasi pemboran. Perencanaan casing, laju pemboran dan komplesi dipengaruhi oleh lumpur yang digunakan saat itu. Misalnya pada daerah batuan lunak pengontrolan sifat-sifat lumpr sangat diperlukan, tetapi di daerah batuan keras sifat-sifat ini tidak terlalu kritis, sehingga air biasa pun kadang-kadang dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan lumpur pemboran. Dengan ini dapat  dikatakan bahwa kondisi geologis suatu daerah menentukan pula jenis lumpur yang akan digunakan.
2.1. Komposisi Lumpur Pemboran
2.1.1. Fasa Cair
            Fasa cair lumpur pemboran pada umunya dapat berupa air, minyak atau campuran air dan minyak. Air dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu air tawar dan dan air asin. Air asin juga dapat di kelompokan menjadi dua : yaitu air asin tidak jenuh dan air asin jenuh. Sekitar 75% lumpur pemboran menggunakan air, karenan mudah didapat, murah, mudah dikontrol jika terdapat padatan – padatan (solids content) dan merupakan fluida yang paling baik sebagai media penilaian formasi. Istilah oil – base mud digunakan jika kandungan minyaknya lebih besar dari 95%, sedangkan emulsion muds mempunyai komposisi minyak 50 – 70% (sebagai fasa kontinyu) dan air 30 -50% (sebagai fasa diskontinyu).
2.1.2. Fasa Padat
            Fasa padat dibagi dalam dua kelompok, yaitu padatan berat jenis rendah dan padatan dengan berat jenis tinggi. Padatan berat jenis rendah dibagi menjadi dua, yaitu reactive solid dan non reactive solid (inert solid).
2.1.2.1. Reactive Solids
            Reactive Solids adalah clay, merupakan padatan yang dapat bereaksi dengan air membentuk koloid. Karakteristik clay seperti dibawah ini :
-          Padat dengan diameter kurang dari 2 mikron,
-          Partikel yang bermuatan listrik dan mampu menyerap air,
-          Material yang mengembang (swelling), jika menyerap air. Clay (low-gravity reactive solid) ditambahkan kedalam air agar diperoleh sifat-sifat fisik seperti viskositas dan yield point yang diperlukan untuk mengangkat serbuk bor atau untuk menjaga agar serbuk bor tidak mengendap pada saat tidak ada sirkulasi. Mekanisme pembentukan viskositas dan yield point yang tinggi pengembanganya sangat komplek dan belum seluruhnya dapat dipahami.
Hal ini dihubungkan dengan struktur internal partikel-partikel clay dan gaya-gaya elektrostatik yang mempertahankanya jika clay terdispersi didalam air.
2.1.2.2. Non – reactive Solid
            Non – reactive solid (inter solid) merupakan zat padat yang tidak bereaksi. Non – reactive solid meliputi padatan-padatan dengan berat jenis rendah (low gravity) meliputi : pasir, chert, limestone, dolomite, berbagai macam shale, dan campuran dari berbagai macam mineral. Padatan-padatan ini dapat berasal dari formasi yang dibor dan terbawa oleh lumpur, dan biasanya mempunyai ukuran lebih besar dari 15 mikron, dan bersifat abrasive, sehingga dapat merusak paralatan sirkulasi lumpur, seperti liner pompa, oleh Karen itu padatan tersebut harus segera dibuang. Menurut klasifikasi API , pasir adalah setiap padatan yang berukuran lebih besar 74 ,micron, meskipun demikian setiap padatan yang berukuran lebih kecil dari pasir juga dapat merusak peralatan.
2.1.3. Unsur Kimia (Additif)
            Bahan Kimia (additf) digunakan untuk mengontrol sifat –sifat fisik lumpur, seperti : viskositas, yield point, gel strength dan filtration loss, dapat terlihat pada Tabel II 1.
Tabel II.1
Bahan Kimia Lumpur
Additif
Fungsi
Bentonite
Viscosifer
Polymer (XCD dan PAC – R)
Viscosifer
Barite
Weighting Material
Calcium Carbonate
Weighting Material
Starch
Filtration Lass Reducer
CMC
Filtration Lass Reducer
Dispersant
Filtration Lass Reducer
PAC – LR
Filtration Lass Reducer
PAC – R
Filtration Lass Reducer
Falked
Loss Filtration Lass Reducer
Diaseal
Loss Filtration Lass Reducer
Microseal
Loss Filtration Lass Reducer
Nut Plug
Loss Filtration Lass Reducer
KCI
Shale Stablizer
PHPA – L
Shale Stablizer
Shaletex
Shale Stablizer
Polyrex
Shale Stablizer
Soltex
Shale Stablizer
Oil In Water
Emulsifier
Water In Oil
Emulsifier
Caustic Soda
 pH Control
KOH
pH Control
Blacak Magic
Stuck Pipe Anticipation
Spotting Fluid
Stuck Pipe Anticipation
Lubricant
Pelumas
Timlube
Pelumas
Defoamer
Penghilang Busa
Drilling Detergen
Mengatasi Clay yang lengket dengan bit
Biocide
Menjaga kualitas lumpur
Soda Ash
Menjaga pH,menurunkan kadar Ca


2.2. Fungsi Lumpur Pemboran
            Sebelum mengenali lebih jauh tentang lumpur pemboran, terlebih dahulu kita mengetahui beberapa fungsi – fungsi lumpur pemboran. Lumpur pemboran merukan variable terpenting didalam operasi pemboran, misalnya kecepatan pombaran, effisiensi, keselamatan dan biaya pemboran tergantung pada lumpur pemboran. Dan fungsi – fungsi lumpur pemboran antara lain :
1.      Mengangkat serbuk bor ke permukaan.
Serbuk bor yang dihasilkan pada waktu operasi pemboran harus segera diangkat ke permukaan agar tidak terjadi penumpukan serbuk bor didasar lubang, kapasitas pengangkatan serbuk bor tergantung dari beberapa faktor, antara lain : kecepatan aliran di annulus, viskositas plastic, yield point lumpur pemboran dan slip velocity dari serbuk bor yang dihasilkan.
2.      Mendinginkan serta melumasi pahat dan drill string.
Perputaran pahat dan drill string terhadap formasi akan menghasilkan panas, sehingga dapat mempercepat keausan pahat dan drillstring. Selain panas yang ditimbulkan akibat gesekan juga panas yang berasal dari formasi itu sendiri, dimana semakin dalam formasi yang dibor, temperature juga semakin tinggi. Dengan adanya lumpur pemboran, maka panas tersebut dapat ditransfer keluar dari lubang bor.
3.      Mengontrol tekanan formasi.
Untuk keselamatan pemboran, tekanan formasi yang tinggi juga harus diimbangi dengan tekanan Hidrostatik lumpur yang tinggi, sehingga tekanan Hidrostatik lumpur lebih besar dari tekanan formasi. Secaa effektif perbedaan antara tekanan hidrostatik lumpur dengan tekanan formasi (overbalance pressure) harus sama dengan nol, tetapi dalam praktek harganya sekitar 100 – 200 psi.
4.      Mebersihkan dasar lubang bor.
Secara umum, pembersihan dasar lubang bor dilakukan dengan menggunakan fluida yang encer pada shear rate tinggi saat melewati nozzle pada pahat. Ini berarti bahwa fluida yang kental kemungkinan besar dapat digunakan untuk membersihkan lubang bor, jika fulida tersebut mempunyai sifat shear thinning yang baik. Dan pada umumnya, fluida dengan kandungan padatan (solid content) yang rendah merupakan fluida yang paling baik untuk membersihkan dasar lubang bor.
5.      Membantu dalam evaluasi sumur.
Sifat fisik dan kimia lumpur pemboran berpengaruh terhadap program well loging. Pada saat tertentu diperlukan informasi tentang kandungan hidrokarbon, batas air – minyak dan lainya untuk korelasi, maka dilakukan well loging, yaitu memasukan sonde / alat kedalam sumur, misalnya log listrik, maka diperlukan media penghantar listrik. Sebagai contoh, lumpur dengan kadar garam yang tinggi akan menghambat pengukuran Spontaneous Potensial (SP) karena konsentrasi garam dari lumpur dan formasi hamper sama.
6.      Melindungi formasi produktif
Perlindungan formasi produktif sangat penting. Oleh karena itu, pengendapan mud cake pada dinding lubang bor dapat mengijinkan operasi pemboran terus berjalan dan tidak menyebabkan kerusakan formasi produktif. Kerusakan formasi produktif biasanya akan menurunkan permeabilitas disekitar lubang bor.
7.      Membantu stabilitas formasi.
Pada lubang bor sering dijumpai adanya problem stabilitas yang disebabkan oleh kondisi geologi, seperti zona rekahan, formasi lepas, hidrasi clay, dan tekanan tinggi. Lumpur pemboran harus mampu mengontrol problem tersebut, sehingga lubang bor tetap terbuka dan proses pemboran dapat terus dilanjutkan perencanaan sistem lumput untuk menjaga stabilitas lubang bor sering digunakan sebagai basis untuk pemilihan jenis dan sifat lumpur.
8.      Membatasi korosi terhadap pipa bor dan selubung.
Korosi disebabkan karena adanya pencemaran H2S.CO2,O2 dan bakteri-bakteri dalam lumpur. Lumpur yang pHnya rendah dan tercemar gamar akan bersifat lebih korosif.
9.      Meneruskan tenaga hidrolik ke bit.
Bit harus dibersihkan dari cutting agar tidak terjadi pemboran berulang terhadap cutting tersebut, yang akan berakibat buruk terhadap kecepatan pemboran dan umur dari bit itu sendiri. Kemampuan untuk membersihkan cutting di bit karena adanya bit hydrolic horse power dari permukaan menuju bit.
10.  Menahan turunya cutting dan material pemberat ketika sirkulasi dihentikan.
Bla stop sirkulasi karena pompa dimatikan, menyambung rangkaian pipa dan sebagainya. Lumpur bor harus mampu menahan cutting dan bahan pemberat agar tidak mengendap didasar lubang.
11.  Menyangga sebagian berat rangkaian pipa.
Buoyancy effect dari lumpur bor akan menjadi sangat penting dengan bertambahnya kedalaman yaitu mebantu mengurangi bebab yang ditahan peralatan di permukaan.
2.3. Sifat – sifat Fisik Lumpur pemboran
            Semua fungsi lumpur pemboran dapat berlangsung dengan baik apabila sifat-sifat fisik lumpur tersebut selalu di jaga dan selalu diamati secara kontinyu dalam setiap operasi pemboran. Beberapa sifat-sifat fisik lumpur yang harus selalu dijaga tersebut adalah :
2.3.1. Densitas
            Pengontrolan densitas lumpur pada hakikatnya adalah untuk menahan tekanan formasi yang berakibat terjadinya blwout, dan kadang – kadang juga digunakan untuk menjaga stabilitas lubang bor (gugurnya formasi). Berat lumpur maksimum yang diperlukan pada pemboran sumur migas maupun geothermal adalah ditentukan berdasarkan gradient tekanan (psi/ft kedalaman) fluida formasi.
            Lumpur yang terlalu berat dapat menyebabkan terjadinya loss circulation, sedangkan lumpur yang terlalu ringan dapat menyebabkan masuknya fluida formasi kedalam libang bor (kick) dan jika tidak segera diatasi akan dapat menyebabkan terjadinya semburan liar (blowout).
            Dalam operasi pemboran, tekanan formasi harus dikontrol dengan tekanan hidrostatik lumpur. Tekanan hidrostatik lumpur. Tekanan hidrostatik lumpur bertambah dengan kenaikan densitas fluida. Tekanan hidrostatik dapat dihitung dengan persamaan :
Ph = 0.052p TVD
Keterangan :
Ph        = tekanan hidristatik, psi
P          = densitas, Ib/gal
TVD    = true vertical depth (kedalaman vertical),ft
            Sistem – sistem lumpur dapat bertambanh beratnya dari formasi yang dibor jika peralatan pengontrol padatan tidak dapat berfungsi dengan baik. Padatan ini biasanya dapat menyebabkan naiknya berat lumpur tanpa disengaja, sehingga menyebabkan lumpur pemboran menjadi lebih berat. Beberapa produk telah terbukti berhasil baik digunakan untuk mengontrol densitas lumpur seperti ditunjukkan pada table II-2.
Table II-2
Material- material Pemberat
Nama Produk
Nama Kimia
SG rata-rata
Densitas Lumpur Maksimum (Ib/gal)
Barite
Barium Sulfate
4,25
20-22
Calcium Carbonite
Calcium Carbonate
2.7
12

2.3.2. Rheologi (Sifat Aliran)
            Pengontrolan rheologi diperlukan untuk mengangkat serbuk bor (cutting) pada saat pemboran berlangsung. Dalam terminology lapangan minyak,, istilah “sifat aliran” (flow properties) dan viskositas adalah merupakan ungkapan umum yang digunakan untuk menggambarkan perilaku lumpur pemboran dalam keadaan bergerak. Rheliologi dari lumpur pemboran diantaranya adalah :
2.3.2.1. Viskositas plastic
            Viskositas adalah sifat fisik yang mengontrol besarnya shear stress akibat adanya pergesaran antara lapisan fluida. Oleh karena itu, viskositas adalah merupakan ukuran gesekan antara pelapisan-pelapisan fluida yang dapat menggambarkan kekentalan dari suatu fluida.
            Karena viskositas dipengaruhi oleh kecepatan dan pola aliran fluida, baik laminar maupun turbulen, maka besarnya viskositas absolute atau effectif sukar diukur. Dalam teknik pemboran hanya perubahan –perubahan kecepatan di annulus yang diperhatikan, seperti perubahan arah mempengaruhi pengangkatan serbuk bor dan kehilangan tekanan – annulus, yang pada giliranya akan mempengaruhi tekanan hidrostatik lumpur.
2.3.2.2. Yield Point
            Yield point adalah bagian dari resistensi untuk mengalir oleh gaya tarik menarik antara partikel yang diperoleh dengan ekstrapolasi garis lurus antara pembacaan dial 300 dan 600 rpm dan viskositas plastic, dan dapat dihitung dengan rumus :
PV       = 0600-0300
YP       =0300 – PV
Keterangan :
PV       = viskositas Plastik, cp
YP       = Yield Point, Ib/100 ft2
0600    = Dial reading Fann VG meter pada 600 RPM
0300    = Dial reading Fann VG meter pada 300 RPM
Untuk tujuan lapangan yield point digunakan sebagai indikator gaya tarik antara padatan atau jika tidak ada gaya tarik, sebagai indikator penyimpangan lumpur dari perilaku Newtonian. Dalam praktek lapangan yield point lebih sering digunakan sebagai indikator besaran terhadap pengangkatan cutting (serbuk bor).
2.3.2.3. Gel Strength
            Gel strength adalah gaya tarik menarik antar molekul pada saat kondisi statis, atau merupakan suatu harga yang menunjukan kemampuan lumpur untuk menahan padatan-padatan pada saat tidak ada aliran (statis / diam). yIield Pointi merupakan minimum shear stress yang harus dilalui sebelum terjadi geseran, serta merupakan kemampuan membentuk gel pada kondisi dinamis. Pada umumnya pengukuran gel strength diukur dengan waktu 10 detik dan 10 menit dengan satuan gel strength Ib / 100 sqft. Kegunaan utama gel strength adalah untuk menehan serpihan bor tetep pada kedalaman tertentu selama sirkulasi dihentikan, sehingga dapat mencegah penumpuhkan serpih bor di dasar lubang bor. Jika yield point atau gel strength terlalu besar, dapat diturunkan  dengan mengurangi kadar padatan atau dengan mengunakan pengecer (thinner).
2.3.3. Filtration loss mud cake
Filtration loss adalah kehilagan sebagian dari fasa cair (filtrat) lumpur masuk kedalam formasi permeable. Cairan yang didapat di sebut filtrate sedang padatannya di sebut mud cake. Pengukurannya dilakukan dengan standart filter press dengan tekanan 100/30 menit, dimana lumpur ditempatkan pada silider yang dasarnya di pasang kertas saring (filter paper), dan bagian atas tabung di berikan tekanan udara/gas. Selanjutnya volume filtrat lumpur dan table mud cake dicatat. API filtration (statik) adalah volume (cc) filtrate/30 menit pada tekanan 100 psi/30 menit, dimana lumpur ditempatkan pada silider yang dasarnya dipasang kertas saring (filter paper), dan bagian atas tabung diberikan tekanan udara/gas. Selanjutnya volume filtrate lumpur dan tebal mud cake dicatat. API Filtration rate (static) adalah volume (cc) filtrate/ 30 menit pada tekanan psig. Ketebalan mud cake biasanya diukur dalam satuan 1/32 inch.
            Filtration loss yang terlalu besar berpengaruh jelek terhadap formasi maupun lumpurnya sendiri, karena dapat menyebabkan terjadinya kerusakan formasi (pengurangan permeabilitas effektif terhadap minyak.gas) dan lumpur akan kehilangan banyak cairan. Mud cake sebaiknya tipis dan kenyal, sebaliknya apabila mud cake tebal dan mudah retak akan mengakibatkan lubang bor menjadi kecil (undergauge hole) dan bias mengakibatkan pipa terjepit (differensial sticking).

2.3.4. Derajat Keasaman.
            Derajat kesamaan lumpur pemboran dinyatakan dalam satuan PH. Bila harga PH < 7 larutan bersifat asam dan bila harga ph > 7 maka larutan bersifat basa. Pengukurannya dilakukan dengan kertas lakmus indikator atau alat pH meter pada air filtrate loss lumpur pemboran.
Derajat kesamaan lumpur yang terlalu rendah akan menyebabkan lumpur menjadi asam dan menjadikan peralatan terkorosi. Additif yang di gunakan untuk mengntrol pH adalah caustic soda (NaOH) atau potassium hydrxide (KOH).
2.3.5. kandungan NaCI (CI)
            Konsentrasi garam-garaman pada air formasi mungkin mendekati air laut yaitu 3,5% atau 35.000 ppm. Bentonite clay dalam aiar mengandung garam-garaman yang lebih dari 1% (< 10.000 ppm). Apabila garam-garaman dalam aliran fluida pemboran lebih dari 1%, maka kemungkinan akan menaikkan apperent viskositas, gel strength, yeild point, filtration loss, dan akan mengurangi sifat-sifat tixotropi (kemampuan fluida untuk membentuk  gel) fluida pemboran.
2.4. jenis-jenis lumpur pemboran
            Berdasarkan fasa fluida nya lumpur pemboran dibagi menjadi 3 macam :
2.4.1. Water Base Mud
2.4.1.1. Fresh water mud
            Salah satu contoh dari fresh water mud adalah spud mud digunakan untuk membor formasi bagian atas bagi casing konduktor. Fungsi utamanya mengangkat cutting dan membuka lubang dipermukaan (formasi atas) volume yang diperlukan biasanya sedikit dan dapat dibuat dari air dan bentonite (yield 100 bbl/ton) atau clay air tawar yang lain (yield 35-50 bbl/ton). Tambahan bentonite atau clay perlu dilakukan untuk menaikan viscositas dan gel strength bila mebor pada zona-zona loss. Kadang-kadang perlu lost circulation material, desitas harus kecil.
2.4.1.2. Salt Water Mud
            Lumpur ini digunakan terutama untuk membor garam massive (salt dome) atau salt stringer (lapisan formasi garam) dan kadang-kadang bila ada aliran garam yang terbor. Filtrat loss nya besar dan mud cake nya tebal bila tidak ditmabah organic colloid pH lumpur dibawah 8, karena itu perlu perlindungan untuk menahan fermentasi starch. Jika salt mud nya mempunyai pH yang lebih tinggi fermentasi terhalang oleh basa. Suspensi ini bisa diperbaiki dengan penggunaan attapulgite sebagai pengganti bentonite.
2.4.2. Emolsion mud
2.4.2.1. Oil in water emulsion mud (emulsion mud)
            Pada lumpur ini minyak merupakan fasa terbesar (emulsi) dan air sebagai fasa kontinyu. Jika pembuatanya baik, filtratnya hanya air. Sebagai dasar dapat digunakan baik fresh maupun salt water mud. Sifat-sifat fisis yang dipengaruhi emusifikasi nya hanyalah berat lumpur, volume filtrat, tebai mud cake dan pelumasan. Segera setelah emulsifikasi filtrat loss berkurang.
            Keuntunganya adalah bit yang lebih tahan lama, laju penembusan naik, pengurangan korosi pada drill string, perbaikkan pada sifat-sifat lumpur (viskositas dan tekanan pompa boleh /dapat dikurangi, water loss turun, mud cake turun, mud cake tipis) dan mengurangi balling (terlapisnya alat oleh padatan lumpur) pada drill string, viskositas dan gel lebih mudah dikontrol bila emulsifiernya juga bertindak sebagai thinner. Umumnya oil in water emolsion mud dapat bereaksi dengan penambahan zat dan adanya kontaminasi dari lumpur itu sendiri.
            Semua minyak dapat digunakan tetapi lebih baik bila digunakan minyak yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
1.      Uncracked (tidak terpecah-pecah molekulnya), maksudnya supaya stabil.
2.      Flash point tinggi, untukmencegah terjadinya bahaya api.
3.      Aniline number tinggi (lebih dari 155) agar tidak merusak karet-karet dipompa ataupun di sistem sirkulasi.
4.      Pour point rendah, agar bisa digunakan untuk bermacam-macam rendah.
2.4.2.2. Water In Oil Emulsison mud
            Water In Oil Emulsion Mud adalah lumpur yang mengandung NaCI sampai sekitar 60.000 ppm. Lumpur emulsi ini dibuat dengan menambahkan emusifier ke water base mid diikuti dengan sejumlah minyak yang biasanya 5 – 25 volume. Jenis emulsifier yang bukan sabun lebih disukai karena ia dapat digunakan dalam lumpur yang mengandung larutan Ca, tanpa memperkecil emulsifier nya dalam hal ini efisiensi. Emulsifikasi minyak dapat bertambah dengan adanya proses agitasi (pengadukan).
2.4.3. Oil Base Mud
            Oil base mud merupakan enulsi air dalam minyak, dimana minyak mentah atau minyak diesel sebagai fasa kontinu dan air sebagai fasa yang terdispersi. Oil base mud kadang –kadang juga dideskripsikan sebagai invert emusion, karena tetes-tetes air teremulsi dalam minyak sebagai fasa kontinyu.
            Air digunakan terutama untuk menghasilkan emulsi yang diperlukan untuk menghasilkan sifat gel strength yang diperlukan sebagai suspensi barite. Air dan minyak membentuk emusi dengan menggunakan bahan emusifier, seperti sabun dan dengan cara pengadukan.
            Oil base mud digunakan untuk pemboran yang menembus zona shale yang sangat berbahaya dan dapat mengurangi torsi dan drag pada pemboran sumur miring. Oil base mud cenderung lebih stabil pada temperatur tinggi dibanding dengan water base mud.
            Dari segi komplesi sumur, minyak merupakan fluida pemboran yang sangat bagus, karena tidak merusak lapisan hidrokarbon dan dapat menjaga permeabilitas alamiah disekitar lubang bor. Air filtrat yang berasal dari water base mud dapat menembus formasi yang pada giliranya dapat menurunkan formasi.
            Kegiatan utama dari penggunaan oil base mud adalah :
1.      Pencemaran lingkungan, terutama pada operasi pemboran di lepas pantai.
2.      Mudah terbakar
3.      Serbuk bor lebih sukar diambil dengan lumpur berbahan dasar air, karena viscositas plastik dari emulsi sangat tinggi.


2.5. Lumpur Polymer
 Polimer   adalah suatu susunanmolekul berantai panjang yang merupakan gabungan dari ejumlah unit tunggal (monomer). Terpadu dalam satu ikatan kimia polimer terdiri dari gabungan monomer-monomer yang identik, atau dari monomer-monomer yang berbeda.
Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam penggunaan lumpur, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu : pemilihan air, jenis formasi, berat jenis, lumpur dan peralatan pengontrol padatan.
a.       Pemilihan air
Dalam menentukan jenis fresh atau salt water base muds tergantung kadar salinitasnya. Apabila kadar garam < 10.000 ppm, maka pakai fresh water mud. Sedangkan salinitas > 10.000ppm maka pakai salt water. Salinitas yang tinggi akan mempengaruhi yield dari bentonite  extender, sehingga dapat menurunkan performance  lumpur.
b.      Tipe formasi
Formasi yang akan dibor sebaiknya sudah diketahui lebih dahulu untuk menetukan macam-macam lumpur yang akan digunakan.
c.       Berat jenis lumpur
Dengan SG lumpur yang rendah dapat menjaga kestabilan lubang dan mengontrol tekanan formasi sekaligus menaikan laju pemboran. Hal ini dapat dicapai dengan inhibitor seperti garam-garam potasium.
d.      Peralatan pengontrol padatan
Perlu dipastikan bahwa peralatan pengontrol bekerja dengan baik dan efektif.
Tujuan perencanaan lumpur water base mud dengan inhibitor KCI polimer anatara lain :
·         Mengurangi efek negatif lapisan shale yang sensitif terhadap air.
·         Pengontrolan sifat fisik dan kimia (additif) lumpur lebih sederhana dan pengadaanya lebih mudah (available)
·         Kompensasi biaya yang relatif murah jika tejadi problem.
·         Treatment (conditioning area) di permukaan relatif lebih mudah.
Untuk tujuan mengantisipasi dan memperkecil terjadinya hidrasi anta plat-plat clay yang ada, kedalam suspensi lumpur diupayakan penambahan CaCI2 dan atau KCI (salinity source) dan barite sebagai aplikasi pengontrolan sifat lumpur (trretment) terhadap peanggulanganya problem shale.
            CaCI2 Dalam Water Base Mud Dimaksudkan Agar Kation C++ atau K= akan menggantikan kation Na+ yang terdapat pada plat-plat clay, sehingga daya pengembanganya (sweling) akan mengecil, sedangkan kadar CI akan menaikan salinitas lumpur dan berfungsi sebagai elektrolit sehingga dapat menghalangi pelepasan kation-kation dari plat-plat clay dan akibatnya daya pengembangan akan mengecil. Selain itu, CaCI 2 dan KCI juga berfungsi menghidrasi fluida formasi kedalam lumpur sehingga lapisan tetap stabil dan relatif kering. Sedangkan barite untuk menaikkan berat jenis lumpur (weightning agent), berfungsi untuk menahan tekanan formasi (shale) dengan peningkatan tekanan hidrostatik lumpur saat sirkulasi.
2.5.1. Fungsi Polymer dalam lumpur pemboran
            Lumpur KCI polymer dalam sistem water base muds inhibitive drilling muds akan memberikan respon yang jelas terhadap instability shale. Respon tersebut berbentuk interaksi antara permukaan shale dan rantai polimer. Soluble salt akan menghambat laju swelling dan dispersi, dengan cara menyerap tempat-tempat kation disetiap sisi-sisinya dan mengikat partikel secara bersama dan sekaligus membungkus cutting.
2.5.1.1. Viscosifier (pengental)
            Besarnya Penyerapan polimer pada permukaan partikel clay makin tinggi dengan kenaikan kadar garam dan jumlah solid aktif. Polimer yang sudah diserap akan menepel lagi pada partikel-partikel yang berdekatan sehingga membentuk jaringan pelapisan pada permukaan partikel-partikel clay, sehingga integritas shale bertambah kuat.
            Flokuasi adalah ciri dari polimer untuk meningkatkan ukuran partikel clay menjadi lebih besar, lebih viscositas, dan lebih stabil. Pada umumnya polimer dibagi menjadi dua yaitu :
1.      Complete flocculant (no selective), adalah polimer yang dapat menggabung seluruh partikel baik bentonit atau drilled solid (misalnya : guar gum, MF-1 PHPA).
2.      Selective floculant, adalah polimer yang menetralisir partikel bermuatan listrik sehingga dapat bergabung. Bentuk gabunganya dapat berbentuk gumpalan (flocculation), misalnya jenis low yield native clay, atau mengembang (extending) seperti bentonit karena polimer tidak dapat menetralisir semua muatan listrik dalam partikel, sebagian partikel dalam suspensi masih menahan muatan negatif (misalnya : Benex dan Select-Floc PHPA).
2.5.1.2  Flokulan (Penggumpalan)
Suspensi gel disebut dalam keadaan deflokulan bila diantara partikel-partikel terdapat gaya tolak-menolak sehingga kedudukan partikel tersebut saling menjauh. Sebaliknya keadaan deflokulan terjadi bila diantara partikal-partikel gel kehilangan gaya tolak-menolak, sehingga akan terjadi asosiasi partikel-partikel tersebut dan akibat selanjutnya suspensi tersebut akan kehilangan kekentalanya.
Polimer dengan muatan ion yang tinggi mampu menepel p-ada permukaan plat-plat lempung dan menyebabkan gaya tolak menolak anatar plat berkurang, sehingga lempung akan menggumpal. Kemapuan polimer dalam menggumpalkan lempung dan mengendapkanya tergantung dari : kereaktifan partikel lempung, jumlah dan jenis kation dalam larutan, kemampuahn dalam mebentuk gel dan sistem aliran lumpur, jenis polimer sebagai flokulan, konsentrasi padatan dan tergantung juga pada temperatur.






Gambar 2.1
Mekanisme Fokulan
2.5.1.3. Bentonite extender (Peningkat daya guna bentonite)
            Penggunaan polimer dalam jumlah yang tepat akan meningkatkan dispersi bentonite dengan meningkatkan daya tolak menolak dari plat-plat clay. Dispersi yang baik akan menyebabkan bentonite berfungsi lebih baik.
            Polimer dalam konsentrasi antara 9,5 – 10 dengan fungsi untuk mengurangi masalah korosi serta untuk mengurangi penggunaan ion potassium dalam shale selective.
2.5.1.4. pH control agent
            Penggunaan KOH dalam lumpur KCI polimer adalah sebagai kontrol terhadap pH, yaitu dengan konsentrasi antara 9,5 -10 dengan fungsi untuk mengurangi masalah korosi serta untuk mengurangi ion pottasium dalam shale selective.
2.5.1.5. Filtration control agent
            Dengan jumlah yang besar deflocculant seperti bentonite dengan lognosulfonate dan lignite pada pemboran yang menembus zona permeabel biasanya akan menghasilkan fluid loss yang besar dan kualitas filter cake yang buruk. Dengan menambahkan strach / polyanionic cellulose yang bagus dalam semua ukuran konsentrasi KCI. Kombinasikan dengan perbandingan 4 : 1 menghasilkan sifat filtrasi yang bagus dalam semua ukuran konsentrasi KCI kombinasi ini akan menghasilkan fluida loss yang rendah dan filter cake tipis.


2.5.1.6. Penstabil shale
            Fungsi polimer dalam mengatasi masalah kestabilan shale dengan cara melingkupi shale dan terserap pada sisi khusus dari struktur shale. Pelapisan shale oleh pilmer menyebabkan air tidak dapat memasuki struktur shale, sehingga shale tidak mengembang yang mengakibatkan keruntuhan (sloughing), dan pembesaran lubang bor.
2.6. Lumpur KCI polymer PHPA
            Lumpur Polymer PHPA atau Polyacrylamide terhidrolisis sebagian (anionik) merupakan tipe polymer sinetik dalam group acrylamide (non – ionik) tetapi dapat berubah ke grup carboxil (Anionik).
            Molekul polyacrylamide adalah molekul yang sangat fleksibel, dimana rantai yang panjang dan diameter yang relatif lebih kecil membuat polimer ini tahan terhadap kerusakan degradasi mekanik.
            Polyacrylamide adalah polimer non-ionik dimana untuk menambahkan kereaktifan dalam peningkatan perolehan minyak (bila digunakan dalam polimer flooding) seringkali diinginkan sifat polimer yang ionik. Polyacrylamide dapat menjadi polimer dengan menambah gugus-gugus bermuatan dilakukan dengan mereaksikan polyacrylamide dengan basa kuat (NaOH, KOH).


Gambar 2.2
Struktur sodium Acrilate dan Sodium Acrylamide8)
            Polyadylamide dimodifikasi secara kimia dengan mengganti beberapa kelompok amida dengan kelompok hidroksil. Hasil dari reaksi ini dikenal dengan istilah partaly hydrolize polyacry lamide (PHPA).
            Dalam banyak kasus, penggunaan PHPA (Partially Hydrolyzed Polyacrylamides) yang mempunyai berat molekul tinggi dapat memperbaiki fungsi shale inhibitor dengan konsentrasi KCI yang rendah sampai sedang PHPA adalah polymer anionic yang dapat menurunkan desintegrasi matriks atau dispersi dari cuttings. PHPA juga sebagai drag reducers yang dapat menurunkan masalah erosi mekanis pada wellbore dan pada drill cuttings yang mengalir dalam annulus. Contoh polimer PHPA komersial adalah Claycap L/EZ mud (Baroid) dan benex.






Gambar 2.3
Struktur PHPA















Gambar 2.4
Pembentukan Hydrolized Polyacrylamide3)
            Komposisi lumpur KCI PHPA yang digunakan adalah potassium Chloride, PAC-R, XCD dan Caustic Soda.
1. Potassium Chlorida (KCI)
            Penggunaan  potassium chorida dan PHPA dalam pemboran formasi sensitif komposisinya sangat ditentukan oleh formasi yang akan di bor. Penggunaan KCI dalam konsentrasi yang rendah (5 sampai 7% berat air) digunakan untuk formasi :
1.      Bentuk fresh water dispersible, untuk membor formasi sensitif dengan kandungan clay kecil.
2.      Formasi produktif yang secara potensial menjadi subyek terhadap kerusakan permeabilitas oleh fresh water. Pada konsentrasi tinggi (10% sampai 20% berat air) lumpur ini dapat digunakan untuk, membor zona shale, clay stone yang terdispersi secara mudah oleh fresh water, demikian juga pada pemboran smetite shale yang mudah terjadi sloughing oleh kontak terhadap air.
Mekanisme penggunaan KCI dalam menstabilkan shale, dimana ion K+ Akan Mencegah Terlepasnya Ion Na+  pada lempung atau menggantikan kedudukan ion tersebut. Penambahan KCI sendiri dalam lumpur akan mengurangi sifat swelling dari lumpur, disamping itu akan mengimbangi kemungkinan adanya gaya osmotic hydrational (kegemaran formasi).
2. PAC-R
            PAC-R merupakan cellullose (C6H10O5)N Yang Berfungsi Sebgai pengontrol filtration loss. Pada fresh water akan dibutuhkan 0,5 sampai 1,5 ppb untuk mengontrol fluid loss. PAC-R tidak dipengaruhi oleh salinitas atau tingkat calcium sedang, juga akan menurunkan sifat rheologi, dan pada konsentrasi yang lebih tinggi akan menghasilkan inhibisi shale. Pada konsentrasi yang lebih tinggi akan menimbulkan sedikit penebalan.
3. Caustic Soda (NaOH)
            NaOH digunakan sebagai agen alkaline untuk mengontrol pH dari sistem PHPA. NaOH juga menyediakan ion-ion pelengkap untuk extra shale control. pH lumpur polimer ini dapat dipertahankan antara 9.0 sampai 9.5
4. XCD
            XCD atau barazan (produk dari baroid) atau thixopal (produk dari milpark) adalah bahan dasar xantan gum, merupakan bio-polimer dari hasil permentasi mikro organisme xanthomonas campestis yang berfungsi sebagai viscisifier dengan cara menaikan kekentalan fasa cairnya dan tidak bereaksi dengan bentonite (reactive clay).
2.7 Shale
            Shale atau serpih biasanya merupakan hasil endapan lingkungan laut, terutama terdiri dari lumpur, silt dan clay. Bila makin dalam letaknya, karena tekanan overburden dan temperatur yang tinggi, endapan tersebut mengalami konsilidasi menjadi serpih (shale). Ditinjau dari material yang dikandungnya, shale yang mengandung pasir disebut arenaceous shale, yang beriai kalsium karbonat disebut calcareous shale, mengandung besi disebut ferrogenius shale, sedangkan yang mengandung material organik disebut carbonaceous shale. Shale merupakan jenis batuan mineral yang penyusunanya sebagian besar berupa mineral atau clay.
2.7.1. Struktur Mineral Clay
            Mineral clay atau lempung susunan bangun molekulnya dapat dibayangkan sebagai lapisan-lapisan pipih yang terdiri dari molekul-molekul allumina dan silikat yang saling bertumpuk seperti tumpukan-tumpukan kertas dan terikat satu dengan lainya oleh kation, berupa ion positif dari Na atau Ca.
            Menurut Grim (1953), umumnya mineral clay tersusun dari dua unit struktur (bangun) utama yang membentuk block pada kisi-kisi atomnya, yaitu :
a.       Tetrahedral, yaitu bangun lima segi empat beraturan didmana atom silica (Si) sebagai pusat dan sudut – sudutnya ditempati oleh atom O dan OH , seperti ditunjukan pada gambar 2.2 (a), sedangkan pada gambar 2.3 (b) menunjukan hubngan antara molekul-molekul dalam satu lapisan. Tiga dari empat atom oksigen penyusun molekul tersebut terbagi oleh molekul lain yang berdekatan, serta jelas terlihat bahwa atom oksigen pada puncak bangun bersifat lebih besar dan kelak atom inilah yang menjadi sarana pembentuk ikatan dengan bangun lainya.







Gambar 2.5
Skema diagram (a) Silica Tetrahederal tunggal (b) Sheet Structure Silica Tetrahederal Membentuk Satuan Hexagonal3)

b.      Oktahederal, yaitu bangunan berisi delapan beraturan dengan atom almanium sebagai pusat dan sudut-sudutnya ditempati oleh atom oksigen (O) atau hidroksil (OH).
Table II-3
BEC Mineral Clay4)
Mineral
Meq/100gr lempung kering
Monmorillonite
70 – 130
Vermiculite
100 – 200
IIIite
10 – 40
Kaolinite
3 – 15
Cholorite
10 – 40
Attapulgite-Sepiolite
10 - 35

2.7.2. Klasifikasi mineral clay
                Berdasarkan mineral penyusun dan cara bergabungnya, maka mineral clay dapat  dikelompokkan menjadi, yaitu :
1.      Kaolinite (OH8AI4Si4O10)
Terbentuk dari susunan berulang silica tetrahederal dan satu alumina actehederal, unit gabungan ini disebut Kristal lattice atau lattice saja. Bentuk ini memiliki konfigurasi 1:1 gabungan dari dua lattice dalam satu Kristal disebut sebagai basal plane. Antara dua lattice dalam satu kristal terikat oleh sisi Hidroxil (OH) dari alumina octahederal (gibbsite) dari silica tetrahedral. Ikatan hydrogen mempunyai karakteristik cukup kuat, akibatnya tidak reaktif atau mengembang (swelling).
2.      Smectite atau Motmorilonite [((OH)4AI4Si8O2nH2O
Motmorilonite adalah nama lain dari bentanite sebagai viscosifer dan viscocity reducer dalam freshwater mud. Pada montmorilonite satu lattice terdiri dari dua silica tetrahedron dan satu alumina ocatahidron (konfigurasi 2:1). Antara dua lattice kristsl ini diikat oleh dua sisi oksigen dari silica tetrahederal. Ikatan ini begitu kuat dan memungkinkan air masuk kedalamnya, sehingga basal plane bertambah luas swelling). Dari penelitian diketahui ada pergantian Si4+ oleh AI3+ dalam lempeng tetrahedron menimbulkan ketidakseimbangan muatan minus satu tiap 1.5 unit Kristal. Ketidakseimbangan tersebut dinetralisir oleh adanya absorbs Ca2+, MG2+ H+, K+  dan Na+ pada permukaan luar dari Kristal-kristal clay.


3.      Illite [(OH)4Ky(AI4Mg4Mg6)(Sig-yAI y) O20]
Illite mempunyai struktur konfigurasi 2 ; 1, sama seperti montmorilonite, pergantian Si4+ pada struktur tetrahedron dengan AI3+, dan AI3+ dalam struktur octahedron dengan Fe2+ , Fe3+, dan Mg3+ mengakibatkan ketidakseimbangan muatan minus satu per unit Kristal. Ketidakseimbangan tersebut dinetralisir oleh ion-ion potassium sehingga mengikat unit Kristal Illite bersama-sama dan mampu mencegah pengembangan karena masuknya molekul-molekul air. Tetapi bila strukturnya berubah karena pelepasan ion potassium maka illite dapat mengembang bila kontak dengan air.
4.      Attapulgite [(OH)10Mg5SigO204H2O)]
Terbentuk dari rantai ranjang silica yang dihubungkan oleh AI3+ atau Mg2+.. kristalnya berbentuk jarum, partikel attapulgite mempunyai struktur dan bentuk yang sangat berbeda dengan mineral jenis mika.
Sangat sedikit subtitusi atom pada sttrukturnya, sehingga pengisian permukaan pada partikelnya rendah. Dengan demikian suspense attapulgite tergantung pada interfensi secara mekanik diantara latticenya disbanding terhadap tenaga elektrostatik antar partikel.
2.7.3        Jenis-jenis Shale
            Bermacam-macam test telah dilakukan untuk memperoleh sifat-sifat dari shale sehingga dapat dikelompokkan menurut persamaan sifat-sifat tertentu, Test yang umum dilakukan adalah mengukur kapasitas pertukaran kation (CEC test) untuk mengetahui persentase kereaktifan shale, juga dilakukan analisa shale defraksi sinar x dan infra merah untuk mengetahui komposisi mineralnya serta tes pengembangan (hydration atau swelling test). Mondshine telah mengklasifikasikan clay untuk kepentingan teknologi fluida pemboran sehingga dapat didesain sifat fluida pemboran (misalnya salinitasnya) agar shale tetap stabil, dapat dilihat pada Tabel II-4
Table II-4
Klasifikasi Umum Shale4)
Class
Texture
MBT me/100gr
Water content
Wt % water
Clay content
Wt%, Clay
Density Gr/cc
A
Soft
20-40
Free&bound
25-70
montmorillonite
20-30
1.2 – 1.5
B
Firm
10-20
Bound
15-25
Illite
20-30
1.5-2.2
C
Hard
3-10
Bound
5-15
montmorillonite
20-30
2.2-2.5
D
Britle
0-3
Bound
2-5
Illite
5-30
2.5-2.7
E
Firm-hard
10-20
Bound
2-10
Illite and mixed layer
20-30
2.3-2.7

            Sedangkan G. Brien dan Chenevert mebuat klasifikasi lain dari shale berdasarkan karakteristik masalah yang ditibulkan, seperti terlihat pada table II-5






Table II-5
Klasifikasi Shale Berdasarkan Problem Yang Terjadi4)


Characteristic
Clay Content
1
Soft, haigh dispersion
High in montmorillonite, some illite
2
Sof, fairly high disersion
Fairly high in montmorillonite hight illite
3
Medium hard, moderate dispersion
High in interlayered high in illite chorite
4
Hard, little dispersion, slouhing tendencies
Moderate illite, moderate cholorite
5
Very hard, brittle, no significant dispersion, caving
High in illite, moderate cholorite
                Dilain pihak dari hasil pengamatan pembesaran lubang, masalah shale dapat diklasifikasikan menjadi :
2.6.3.1. Gumbo Shale
                Jenis shale ini umunya terdapat diseluruh dunia terutama dijumpai pada pemboran tahap awal (subsurface hole) dan banyak menimbulkan persoalan karena sensitf sekali terhadap air. Pada kedalaman sedang (0-800 ft), komposisi mineral yang terbanyak adalah montmorillonite (15-25%) dan nilai CEC-nya berkisar 25-30meq/100gram. Pada kedalaman yang jauh (10.000 – 12.000 ft)komposisinya didominasi oleh mineral illite (25-30%). Gumbo shale yang lebih mudah terdispersi oleh air, disamping itu adanya kation potassium sebagai penstabil Kristal dalam illite.

2.6.3.2. Pressure Shale
                Shale merupakan batuan endapan yang biasanya terdapat pada daerah yang luas. Ada kalanya kemudian terdapat pula endapan pasir. Masalah shale yang disertai dengan tekanan biasanya berhubungan dengan sejarah geologi masa lalu, pembentukanya pad akhir kala kapur. Jenis shale ini biasanya massif tetapi tidak homogeny dan pada prinsipnya adalah shale marine sehingga memungkinkan menjadi batuan sumber bagi hidrokarbon. Dengan asumsi tersebut dapat diterangkan kehadiran tekanan didalam batuan shale.
                Karena proses geologi, terjadi penekanan batuan tersebut oleh lapisan-lapisan yang mengendap berikutnya (overburden pressure). Pada proses pemadatan atau compaction ini, maka cairan yang berada didalam batuan tersebut tertekan keluar dan masuk kedalam batuan yang porous, permeable dan tidak compressible dimana tidak ada tekanan yang bekerja, seperti lensa-lensa batu pasir yang terisolasi sempurna oleh shale. Akibatnya cairan terperangkap dan tertekan dadalam batu pasir. Dimana tekanan dapat mencapai tekanan yang relative tinggi, bahkan dapat menyamai tekanan overburden itu sendiri.
                Selanjutnya pada waktu lapisan dibor, bias terjdi situasi tekanan hidrostatik lumpur lebih kecil dari pada tekanan formasi. Perbedaan tekanan ini dapat mengakibatkan runtuhnya dinding lubang bor pada waktu pemboransedang berlangsung. Cara untuk menanggulangi masalah ini adalah dengan manaikan lubang bor, dalam hal ini menaikan berat lumpur. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menjaga agar lubang bor tetap terisi penuh pada waktu cabut dan masuk pahat serta menjaga agar lubang bor tetap terisi enuh pada waktu cabut dan masuk pahat serta emngurangi kemungkinan swabbing dengan jalan menurunkan viskositas, gel strength.
2.6.3.3. Swelling Shale (mud making shale)
                Jenis shale lainadalah shale yang sangat sensitif terhadap air atau lumpur. Jenis ini menghisap air (hidrasi), yang terutama adalah bentonite shale. Cara menghadapi shale jenis ini adalah pemboran dengan memakai cairan pemboran yang tidak berpengaruh atau bereaksi dengan shale. Jenis-jenis lumpur yang dipakai dalam hal ini antara lain : lime mud, gypsum mud, calcium chloride mud, dan yang banyak dipakai lignosulfonate mud serta oil mu7d.
                Namun demikian, jenis-jenis lumpur ini pun tidak seluruhnya mampu mengatasi masalah shale ini. Jadi yang dapat diusahakan adalah agar shale ini tidak berhidrasi atau beraksi dengan lumpur ataupun filtrat lo9ss nya, antara lain dipakai lumpur dengan filtrat loss yang sangat rendah.
Hal lain yang berpengaruh dalam menghadapai shale ini :
1.      pH Diusahakan Konstan, Biasanya Sekitar 8,5-9,5
2.      berat lumpur atau SG, cukup untuk menahan dinding lubang bor
3.      air filtrasi diusahakan rendah.
2.6.3.4. Stressed Shale (Sloughing Shale)
                Shale janis ini tidak banyak bereaksi dengan atau berhidrasi dengan air, tetapi mudah runtuh. Problem ini akan besar bila lapisan miring dan ditambah lagi bila menjadi basah oleh air atau lumpur.
2.6.4. Problem Shale
2.6.4.1. Sebab-sebab problem shale
                Masalah shale atau ketidakstabilan shale akan menyebabkan kesulitan dalam operasi pemboran dan terkadang sulit diatasi. Penyebab masalah ini dapat secara kimia mekanik.
                Dari segi lumpur telah diterangkan dalam sub-bab diatas, bbahwa hydratable, dispersible, dan britle karena shale sensitif terhadap air. Instabilitas tersebut dapat diatasi dengan mencegah air pada fulida pemboran tidak bersentuhan dengan shale. Clay pada waktu bercampur dengan air, membentuk muatan negatif kuat pada permukaan plates. Hal ini akan menyebabkan swelling clay sehingga akan mengakibatkan terhambatnya operasi pemboran.
                Beberapa penyebab dari kelompok drliing practice dan mekanis antara lain :
§  erosi, karena kecepatan lumpur diannulus terlalu tinggi
§  gesekan pipa bor terhadap dinding lubang bor
§  adanya penekanan (presure surge) atau penyedotan (swabbing) pada waktu cabut masuk dan masuk pahat (tripping)
§  adanya tekanan dari dalam formasi
§  lumpur atau filtrate yang masuk dalam formasi
secara umum dapat dikatakan bahwa pembesaran lubang bor dan masalah shale berkaitan dengan masalah pokok, yaitu tekanan formasi dan kepekaan terhadap lumpur atau air filtrasi.
                Gejala-gejala yang sering tampak bila sedang menghadapai masalah shale antara lain :
§  serpih bor (cutting) bertambah banyak secara tiba-tiba
§  lumpur menjadi kental
§  torsi bertambah besar
§  bit balling
dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa usaha-usaha untuk mengurangi masalah shale antara lain :
§  lumpur yang baik, antara lain PHPA yang akan dibahas dalam tulisan ini
§  mengurangi kecepatan aliran lumpur di annulus
§  agar rangkaian pipa bor betul-betul dalam keadaan tegang
§  menghindari swabbing atau pressure surge pada waktu cabut dan masuk pahat.
2.6.4.2. Faktor-Faktor Ketidakstabilan Shale
                Faktor yang menyebabkan ketidakstabilan shale antara lain :
1.      Hidrasi
                Hidrasi atau clay sangat tergantung dari jenis fluida yang digunakan (air tawar atau air asin) dan jenis mineral clay-nya. Berdasarkan strukturnya ada beberapa macam mineral clay, yaitu dapat mengembang dan sedikit mengembang. Shale biasanya disusun oleh sejumlah fraksi clay dalam bermacam-macam komposisi. Clay yang paling sensitive terhadap air adalah monmoriilonite yang dapat mencapai kira-kira 80% berta total shale. Mineral-mineral diatas mampu mneyerap air terutama air tawar dalam jumlah yang besar sehingga volumenya akan membesar secara keseluruhan (swelling), karena adanya ion Na+, maka jika mineral ini terkena air akan mengurangi dan air akan diserap kepermukaan.
2.      Dispersi cutting shale
Selama terjadi kontak antara permukaan shale dengan water base mud, disamping akan berakibat swelling juga terjadi dispersi partikel-partikel clay dengan cepat. Drajat dispersi merefleksikan jumlah air yang yang diserap dimana mengakibatkan swelling. Efek dispersi terhadap muka dinding sumur ditandai dengan kondisi sloughing.
3.      Tekanan Abnormal
Ketika batuan sedimen dimampaatkan, fraksi fluida keluar dari formasi lalu masuk kedalam zona porous sand oleh tekanan overbuden yang akan menyebabkan fluida didalam sgale akan dimanfaatkan. Jika kecepatan penimbunan melibihi kecepatan fluida dikeluarkan makan tekanan akan bertambah.
2.6.4.3. Mekanisme Hidrasi Clay
            Partikel clay aktif yang merupakan mineral penyusun shale pada dasarnya terdiri dari dua bentuk mineral, yaitu : silica tetrahedral sheet dan allumina octahedral sheet, berbentuk lempeng tipis dengan ketebalan 7 sampai 17angstrom unit. Permukaan lempeng-lempeng partikel ini mempunyai kutub negatif.
            Apabila terinvasi air, maka ion hodrogen dari air akan tertarik memasuki celah-celah dari clay tersebut. Lapisan tipis air masuk dalam celah antar lempeng. lapisan tipis air yang masuk dalam lempeng berfungsi sebagai Lapisan film dan pelumas, memisahkan ikatan antara clay dengan menurunkan gaya tarik menarik antar partikelnya. Dalam skala besar invasi air menyebabkan terjadinya pengembangan mineral clay sekaligus menurunkankan gaya tarik menarik antar partikel dan shale.
            Transfer air akan berlangsung dari daerah beraktifit tinggi kedaerah beraktifit rendah, karena itu prinsip utama didalam mengontrol hodrasi shale dianjurkan untuk menurunkam aktifit formasi (lapisan shale). Bisanya hidrasi dan swelling mudah dideteksi pada sumur-sumur yang mempunyai tekanan tidak terlalu tinggi dan perbedaan berat jenis lumpur dengan tekanan formasinya tidak terlalu besar.
2.6.4.4. Kekuatan Hidrasi SHALE
            Penarikan Air Fiktrat Disebabkan oleh dua faktor, yang pertama oleh adanya hidrasi permukaan (surface hydration) karena kompaksi / penempatan shale yang menjadi bebas oleh terbentuknya lubang pada saat pemboran berlangsung. Yang kedua oleh adanya peristiwa (osmotic Hydration) dimana air mengalir melalui membran semi permeable ke larutan dengan kadar garam yang lebih tinggi. Apabila kadar garam lumpur lebih tinggi dari kadar air formasi shale, maka air dari formasi akan tertarik dalam lumpur, atau sebaliknya.

               













Gambar 2.6
Hidrasi pada Mineral Clay
v  Surface Hydration
Suatu lapisan pada kedalaman tertentu mengalami tekanan kompaksi oleh timbunan lapisan diatasnya. Ketidakseimbangan tekanan terhadap suatu lapisan shale dapat dituliskan sebagai berikut :
S = s + P atau s = S – P
Keterangan :
s = Matrix stress = tegangan matrix (psi)
S = Tekanan overbuden (psi)
P = Tekanan formasi / pore pressure (psi)
            Karena adanya tekanan timbunan (overbuden pressure), maka shale mengalami kompaksi dan air tereperas keluar dari shale. Bila lapisan ini dibor dan terbentuk lubang, maka tekanan kompaksi ini hilang. Akibatnya timbul tenaga hydrasi (surface hydration force) yang sama besarnya dengan tekanan yang hilang tersebut. Permukaan shale pada dinding lubang bor akan menghisap air dengan kekuatan (surface hydration) sebesar tekanan kompaksi atau matrix stree (s).
BAB III
METODE PENELITIAN
            Pengujian dilakukan berdasarkan metode penelitian yang telah diterapkan. Sebelum melakukan pengujian, terlebih dahulu penulis membuat kerangka pikiran penelitian agar pengujian dapat dilakukan secara urut. Baru setelah itu penulis melakukan penelitian sesuai dengan kerangka penelitian yang dibuat (Gambar 3.1).
3.1. Kerangka Pikiran Penelitian
            Pada evaluasi penggunaan lumpur KCI polymer PHPA pada sumur NR-30HZ, penulis menjabarkan kerangka pikiran untuk melakukan pengujian. Adapun hal pertama yang dilakukan adalah saat pemboran sumur NR-30HZ sedang beroperasi pada trayek 121/4 yang menembus formasi gumai yang yang didominasilapisan shale yang megandung clay yang reaktif terhadap fluida. Dengan menggunakan system lumpur berbahan dasar air (water base mud), yaitu sistem lumpur KCI polymer (PHPA). Saat pemboran beroperasipada trayek 12 ¼ menembus formasi yang didominasi lapisan shale, penulis mulai membicarakan permasalahan pada operasi pemboran sumur NR-30HZ ketika terjadi ditemukan banyak cutting shale yang berukuran cukup besar 2-3,5cm yang keluar. Masalah tersebut terjadi pada saat round trip atau saat cabut masuk rangkai drill string, ada indikasi swelling clay yang menyebabkan terjadinya adanya saat pemboran seperti pipa terjepit. Baru setelah itu penulis melakukan penelitian masalah swelling clay, dan diambil sampel cutting shale pada kedalaman 2096 ft untuk dianalisa dan dihitung harga CEC-nya, dan pengujian Methylene Blue Test (MBT).



















Gambar 3.1
Diagram Aliran Kerangka Pikiran





















Gambar 3.2
Rncana well Profil sumur NR-30HZ

3.2. Pemboran Sumur NR-30HZ Lapangan UBEP LIMAU
                Pada Bab Ini Akan Membicarakan Penggunaan lumpur bor pada trayek 12-1/4 yang menembus formasi gumai yang didominasi lapisan shale yang mengandung clay yang reaktif terhadap fluida, berkisar sekitar 60 sampai 80%. Pemboran sumur NR-30HZ ini mengunakan sistem lumpuer berbahan dasar air (water base mud). Sistem lumpur pemboran pada sumur NR-30HZ menggunakan lumpur KCI Polymer (PHPA), yang sumur NR-30HZ tersebut sedang beroperasi ketika pengevaluasian dilakukan.
                Penggunaan sistem lumpur KCI polymer (PHPA) di sumur NR-30HZ ini sesuai dengan acuan dari sumur-sumur lain yang telah dibor pada lapangan laimau Deep Zone, yang sering terjadi masalah dengan swelling clay.
3.3. Identifikasi Problem Swelling Clay Pada Saat Menembus sumur NR-30HZ.
                Pada pelaksanaan pemboran, saat pemboran sumur NR-30HZ terjadi swelling clay yang menyebabkan terjadinya problem pemboran seperti pipa terjepit, swelling clay ini disebabkan karena adanya clay yang terhidrasi dengan fluida khusunya air, sehingga clay tersebut mengembang yang menyebabkan rangkaian pipa terjepit. Masalah tersebut terjadi pada saat round trip atau saat cabut masuk rangkai drill string, swelling clay tersebut diidentifikasikan dengan sulit ketika diangkat maupun diturunkan rangkaian drill string serta tidak adanya aliran balik annulus.
                Pada operasi pemboran sumur NR-30HZ ketika menembus lapisan shale timbul masalah. Dimanan sewaktu dilakukan swept hidens, pemboran mulai kedalaman 2055 ft ditemukan banyak cutting shale yang beruuran cukup besar2-3,5cm yang keluar. Dan setelah diambil sampel cutting shale pada kedalaman 2096 ft untuk dianalisa dan dihitung harga CEC-nya, didapat harga CEC sebesar 8,7775 meq/100gr. Dari hasil CEC 8,775meq/100gr, kita dapat mengklasifikasikan bahwa clay yang didominasi oleh mineral monmorillonite.
                Monmorillonite adalah nama lain dari bentonite sebagai viscosifier dan viscocity reducer dalam freshwater mud. Pada montmorillonite satu lattice terdiri dari dua silica tetrahedron dan satu alumina octahedron (konfigurasi 2:1). Antara dua lattice kristal ini diikat oleh dua sisi oksigen dai silica tetrahedral. Ikatan ini tidak begitu kuat dan memungkinkan air masuk kedalamnya, sehingga basal plane bertambah luas (swelling). Dari penelitian diketahui ada pergantian Si4+  oleh AI3+ dalam lempeng tetrahedron menimbulkan ketidakseimbangan muatan minus satu tiap 1.5 unit kristal. ketidakseimbangan tersebut dinetralisir oleh adanya absorbsi Ca2+ , Mg2+ + , H+, K+ dan Na+ pada permukaan luar dari kristal-kristal clay.
                Setelah dilakukan pemboran samapai kedalam 2069 ft rangkaian drill string diangkat sampai shoe. Kemudian rangkaian drill string kembali sambil sirkulasi sampai kedalaman 2079 ft, setelah dilakukan usaha untuk mengangkat rangkaian drill string dengan over vull 25000 Ibs serta dengan memutar rangkaian drill string dengan torsi sampai 10000 ft/Ibs rangkaian drill string terjepit dan tidak ada alliran balik. Ini mengindikasikan bahwa telah terjadi swelling clay yang mengakibatkan rangkaian drill string terjepit dan tidak ada aliran balik annulus.
3.3. Penyebab Swelling Clay Pada Sumur NR-30HZ Lapangan UBEP LIMAU.
                Dari Masalah yang terjadi pada sumur NR-30HZ dapat dilihat secara visual dari kronologis pemboran sumur NR-30HZ yang disebabkan oleh beberapa kemungkinan :
1.      Ditemukan banyak cutting shale yang berukuran cukup bear 2-3,5cm yang terkontaminasi dengan air filtrate lumpur, sehingga clay tersebut mengalami pengembangan karena clay tersebut reaktif dengan air.
2.      Adanya faktor mekanis operasi pemboran seperti :
·         Kecepatan aliran lumpur yang tinggi
·         Adanya penekanan (pressure surge) atau penyedotan (swabbing) pada waktu cabut masuk dan masuk pahat (tripping)
3.4. Penanggulangan Swelling Clay pada sumur NR-30HZ lapangan UBEP LIMAU.
                Untuk langkah pertama sesudah memahami karateristik hidrasi ialah mengetahui macam additf penghambat shale (shale inhibitor). Dikenal beberapa jenis zat yang ditambahkan kedalam lumpur untuk mengurangi keaktifan dari shale, zat-zat tersebut dapat dilklasifikasikan dalam empat kelompok yaitu :
·         Ion pottasium
·         Polimer
·         Ion chlorida
·         Sodium asphalt sulfonate
                Sistem lumpur PHPA merupakan salah satu sistem lumpur yang menggunakan ion potassium (K+). Ion potassium yang digunakan untuk mensubtitusikan ion tersebut mempunyai diameter terhidrasi yang kecil, sehingga dapat mengurangi atau boleh dikatakan menghilangkan daya swelling yang terdapat pada shale. Sumber ion potassium tersebut bisa didapatkan dari KCI. Lumpur water base mud yang paling efektif dalam mengatasi gangguan pada lubang bor, terutama yang disebabkan oleh shale. Penerapan penggunaan konsentrasi secara tepat akan meminimalkan masalah pemboran, penyemenan yang lebih baik dan berkurangnya kerusakan formasi karena adanya ion pottassium, dan sifat lumpur itu yang tidak melarutkan. Lumpur PHPA ini sesuai untuk mencegah masalah shale. Ketidakstabilan lubang bor sering terjadi pada lapisan shale yang bertekanan abnormal. Pemecahan dari kasus tersebut pada dasarnya adalah secara fisik dan mekanik, dan tidak berhubungan dengan komposisi kia dari sistem lumpur. Jika pada shale benar-benar terjadi tekanan yang abnormal, maka pemecahanya adalah dengan menaikan tekanan hidrostatik dalam lubang bor untuk mengimbangi tekanan formasi.
                Mineral clay umumnya ditemukan pada hampir semua trayek pemboran. ioneral clay terutama bentonite digunakan pada sistem lumpur sebagai pengontrol sifat fisik. Mineral clay yang lain dapat digunakan sebagai sifat pengontrol adalah attapulgite. Hidrasi dari bentonite yang menyebabkan terjadinya swelling, memiliki efekpositif dalam pembuatan lumpur pemboran. Sedangkan hidrasi pada formasi yang mengandung clay dapat menimbulkan ketidakstabilan yang serius pada lubang bor.
                Mineral clay umunya ditemukan pada saat pemboranmenjumpai smecite, hanya semcitite yang memperlihatkan swelling yang cukup besar dari hasil hidrasi. Pada studi pemboran yang lebih mendalam, ditegaskan bahwa hidrasi dan swelling berhubungan langsung dengan kandungan smectite. Smectite menyerupai lempeng tipis yang secara normal tersusun seperti bungkusan. Lempeng ini sebenarnya terdiri dari tiga lapisan struktur : silica – allumina – silica, yang disebut sebagai lapisan unit. Kation yang paling umum terdapat pada lempeng tersebut sodium, calsium, dan pottasium. Masing-masing kation melmiliki diameter terhidrasi yang berlainan.
                Penambahan kation potassium pada sistem lumpur umumnya akan mengurangi jumlah swelling pada clay, melalui hasil dari pergantian ion-ion yang terdapat pada basal plane. Ion potassium terbukti sangat efektif untuk tidak hanya monovalen Na+ , tetapi juga dwivalen Ca++ . bentuk lumpur potassium ini sangat penting , karena banyaknya mineral clay, terutama smectite yang diketemukan dalam operasi pemboran. Manfaat lain dari potassium adalah sifatnya yang mempunyai hidrasi terbatas dan juga ionya yang sangat sulit untuk berpindah. Jadi secara potensial dapat menstabilkan formasi, terutama yang mengandung mineral clay, sistem lumpur KCI – PHPA merupakan sistem water base mud, yang dapat ditambnahkanaditif-aditif yang diperlukan. Tujuan perencanaan lumpur water base mud dengan inhibitor KCI polimer antara lain :
·         Menurangi efek negatif lapisan shale yang sensitif terhadap air.
·         Pengontrolan sifat fisik dan kimia (additf) lumpur lebih sederhana dan pengadaanya lebih mudah (availabel)
·         Kompensasi biaya yang relatif murah jika terjadi problem.
·         Treatment (conditioning area)  dipermukaan relatif lebih mudah.
                Untuk tujuan mengantisipasi dan memperkecil terjadinya hidrasi antar plat-plat clay yang ada, kedalam suspensi lumpur diupayakan penambahan CaCI2 dan atau KCI (salinity source) dan barite sebagai aplikasi pengontrolan sifat lumpur (tretment) terhadap penanggulanganya problem shale.
                Penambahan CaCI2 dalam waterbase mud dimaksudkan agar kation C++ dan K++ akan menggantikan kation Na+ yang terdapat pada plat-plat clay, sehingga daya pengembanganya (swelling) akan mengecil, sedangkan kadar CI akan menaikan salinitas lumpur dan berfungsi sebagai elektrolit sehingga dapat menghalangi pelepasan katio-kation dari plat plat clay dan akibatnya daya pengembangan akan mengecil. Selain itu, CaCI2 dan KCI juga berfungsi menghidrasi fluida formasi kedalam lumpur sehingga lapisan tetap stabil dan relatif kering. Sedangkaan barite untuk menaikan berat jenis lumpur (wightning agent), berfungsi untuk menahan tekanan formasi (shale) dengan peningkatan tekanan hidrostatik lumpur saat sirkulasi.
3.5. Prosedur mengatasi Problem  Swelling Clay pada sumur NR-30HZ Lapangan UBEP LIMAU.
1. Melakukan perbaikan pada lumur yang digunakan meliputi sifat fisik dan kima :
·         Menggunakan lumpur KCI Polymer PHPA .
·         Menambahkan Chemical Potassium Choloride  (KCI) Sebanyak 2-4% (49,4Ib/bbI(140,900mg/I) dari volume total lumpur ditangki.
·         Jika terjadi mud ring (clay yang lengket), tambahkan deterjen (condet) untuik mengatasi clay yang lengket pada rangkaian drill string.
2. Pada optimasi operasi pemboran sumur NR-30HZ yaitu :
·         Melakukan cabut masuk rangkaiandengan overpull
·         Melakukan reaming untuk mencegas drill string terjepit
·         Melakukan operasi pemboran secepat mungkin untuk mengurangi kondisi formasi shale kontak langsung dengan lumpur pemboran.
3.6. Hasil dari melakukan perbaikan pada lumpur dengan menggunakan KCI polymer PHPA.
                Hasil dari melakukan perbaikan pada lumpur dengan menggunakan KCI polymer PHPA, untuk mengatasi problem swelling sumur NR-30HZ sekitar = 3 menit.
*      Perbandingan lumpur program dengan lumpur actual :
Pada pemboran sumur NR-30HZ pada trayek 12 ¼ direkomendasikan menggunakan lumpur berbahan dasar air yang mempunyai sifat sebagai berikut :
·         Sistem lumpur             = KCI Polymer
·         Berat lumpur               = 1,03 – 1,06 ml
·         Viscositas                    = 40 -48 sec / qt
·         Fluid loss                     = <8 ml / 30 menit
·         Plastik viscosity          = 10 – 13 cps
·         Yield point                  = 14 -18 Ib / 100ft
·         pH                               = 9,5
·         Solid content               = <8%
·         Sand Contennt                        = <0,25%
·         MBT                            = 10PPG. Eqv
                Sedangkan lumpur yang digunakan pada pemboran sumur NR-30HZ Trayek 12 ¼  pada  kealaman 2096 ft mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
·         Sistem lumpur             = KCI Polymer
·         Berat lumpur               = 1,06 ml
·         Viscositas                    = 42 sec / qt
·         Fluid loss                     = 7 ml / 30 menit
·         Plastic viscosity           = 11cps
·         Yield point                  = 15 Ib / 100 ft2
·         solid content               = 3,5%
·         sand content                = 0,20%
·         MBT                            = 13,5 PPG. Eqv
3.7. Menetukan klasifikasi dan tingkat kereaktifan shale dngan metodologi MBT :
                Telah Diketahui bahwa formasi shale mengandung mineral clay, baik yang bersifat mengembang apabila kontak dengan air maupun clay yang tidak mengembang dengan air. Untuk mengeatahui tingkat kereaktifan dari clay maka dilakukan pengujian dengan Methylene blue test. Sampel shale diambil dari sumur NR-30HZ pada kedalaman 2096 ft. Untuk hasil analisa dalam bentuk gambar dapat dilihat pada gambar 3.3








Gambar 3.3
Hasi trasi Methylene Blue untuk sampel cutting sumur “NR-30HZ” pada kedalaman 2096 ft.

                Untuk harga CEC dapat diketahui dengan menggunakan persamaan (3-1) adapun harga CEC untuk sumur NR-30HZ pada kedalaman 2096 ft adalah :
·         Larutan Methylene Blue yang digunakan = 4.5ml
·         CEC = cm3 larutan Methylene Blue x 1,95 ...... (3-1)
         = 4,5 x 1,95
         = 8,775 meq / 100gr
Tabel III-1
Klasifikasi Umum Shale4)
class
Texture
MBT me100gr
Water content
Wt% water
Clay content
Wt% clay
Density Gr/cc
A
Soft
20-40
Free&bound
25-70
Montmorillonite
20-30
1.2-1.5
B
Firm
10-20
Bound
15-25
Illite
20-30
1.5-2.2
C
Hard
3-10
Bound
5-15
Montmorillonite
20-30
2.2-2.5
D
Britle
0-3
Bound
2-5
Illite
5-30
2.5-2.7
E
Firm-hard
10-20
bound
2-10
Illite and mixed layer
20-30
2.3-2.7

Harga CEC formasi telisa untuk sumur NR-30HZ adalah 8,775 meq/100gr. Berdasarkan Tabel III-1 maka dapat diklasifikasikan clay adalah kelas “C” dengan karakteristik yang didominasi mineral montmorilonite.






Gambar 3.4
Hasil Titrasi Methylene Blue kandungan clay yang terdapat pada lumpur pemboran sumur NR-30HZ pada kedalaman 2096 ft.
                Untuk melihat harga kandungan clay yang terdapat pada lumpur pemboran, dapat dilakukan dengan menggunakan percobaan Methylene Blue Test. Dari percobaan dilapangan pada sumur NR-30HZ kandungan clay yang terdapat pada lumpur pemboran mempunyai harga yaitu :
·         Larutan Methylene Blue Test yang bereaksi pada titrasi 2 ml
·         = Larutan Methylene Blue Test x 5 (konstanta lapangan)
= 2 x5
= 10 ppg.
3.8.Sifat fisik dan komposisi lumpur pemboran pada sumur NR-30HZ
Komposisi Lumpur
satuan
Lumpur program
Lumpur yang digunakan
keterangan
Mud Type

KCI Polymer
KCI Polymer PHPA
Untuk mengatasi swelling clay pada formasi yang mengandung lapisan shale
Densitas
ml
1,03-1,06
1,06
Sesuai program
Viscositas
Sec/qt
40-48
42
Sesuai program, additive yang digunakan Pac R
Plastic Viscocity
CPS
10-13
11
Sesuai Program
Yield point
Lbs/100ft2
14-18
15
Sesuai program
Fluid loss
Ml/30menit
<8
7
Guna memperkecil terhidratnya fluida dari lumpur oleh clay reaktif, additve yang digunakan dextrid dan pac-L
Solid Content
%
<8
3,5
Sesuai program
Solid Content
%
<0,25
0,20
Sesuai program
pH

9,5
10
Sesuai Program Additive Cautic soda, pH lumpur masih bersifat basa
KCI
Mg/I
10.200
18.000
Penambahan KCI pada Lumpur untuk mengatasi swelling clay


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

                Operasi pemboran pada sumur NR-30HZ lapangan UBEP LIMAU ini mengalami hambatan yang mengganggu jalanya operasi pemboran baik dari segi tenaga, waktu maupun biaya yang akhirnya tidak sesuai rencana
                Dari tanda-tanda visual dipermukaan malalui laporan harian maupun data permeter pemboran terdapat hambatan-hambatan dalam hal ini dapat digunakan untuk mengatasi adanya problem swelling clay. Hambatan yang terjadi pada sumur NR-30HZ adalah terjadinya terjepitnya rangkaian drill string, swelling clay.
                Adapun kronologis yang mengindikasikan terjadinya problem pada sumur NR-30HZ pada saat menembus formasi telisa, setelah dilakukan pemboran sampai kedalaman 2069 ft rangkaian drill stringth diangkat sampai shoe. Kemudian rangkaian drill stringth dimasukan kemabali sambil sirkulasi sampai kedalaman 2079ft, setelah dilakukanusaha untuk mengangkat rangkaian drill stringth dengant torsi sampai 10000ft/bs rangkaian drill string terjepit dan tidak ada aliran balik, ini mengindikasikan bahwa telah menjadi swelling clay yang mengakibatkan rangkaian drill string terjepit dan tidak ada aliran balik annulus.
                Untuk mengatasi hambatan yang ada kinerja lumpur pemboran akan menetukan keberhasiln dari pemboran tersebut, sehingga salah satu hal penting dalam pelaksanaan pemboran adalah mendesain lumpur yang sesuai dengan formasi yang ditembus untukmenjaga stabilitas lobang bor.
                Dimana lumpur ini akan berhubungan langsung dan mempengaruhi formasi yang ditembus. Pemboran formasi shale yang banyak mengandung clay yang reaktif terhadap air akan menimbulkan banyak permasalahan apabila tidak dilakukan pemilihan lumpur yang sesuai. Pada pemboran sumur NR-30HZ ini digunakan sistem lumpur KCI Polymer PHPA untuk mengatasi masalah swelling clay.
                KCI Polymer yang ditambahkan dalam sistem lumpur menjadikan clay menjadi stabil. K+ Dengan Na+ jauh lebih kuat dari sebelumnya, sehingga clay tidak mudah terdispersi maupun menyerap air (berhidrasi). Sistem lumpur KCI Polymer merupakan sistem non dispersi, artinya lumpur secara fisik membawah cutting keluar dari luang tanpa bereaksi dengan mineral clay yang ada dalam lumpur maupun pada dinding lubang bor.
                Jenis clay yang ada di sumur NR-30HZ setelah uji Methylene Blue (MBT) Dan Melakukan Perhitungan CEC-nya sebesar 8,775 meq/100gr pada kedalaman 2096 ft, jenis clay initermasuk dalammklasifikasi kelas “C” dalam klasifikasi umum clay yang dapat dilihat pada tabel III-1, didominasi mineral montmorillonite, dengan textur keras. Dimana formasi ini berpotensi terjadinya swelling clay.
                Pada formasi telisa terjadi shale problem karena filtrate lumpur yang terhidrta oleh clay yang reaktif terhadap air, ditandai adanya ukuran cutting yang besar dengan ukuran berkisar 2-3,5 cm saat didistribusikankepermukaan, pump pressure naik, sirkulasi cutting tidak lancar diannulus, terjepitnya rangkaian drill string pada kedalaman 2079 ft pada trayek 12-1/4” saat menembus formasi telisa yang didominasikan lapisan shale dengan ketebalan 517 ft. Penangan secara mekanis pun dilakukan untuk mengatasi hambatan yang terjadi yaitu : dengan melakukan cabut rangkaian dengan overpull, melakukan reaming sambil sirkulasi dan wash down saat turun rangkaian.
                Dari data yang didapat dilapangan penggunaan potassium chloride (KCI) pada sumur NR-30HZ sebesar 10.200 mg/ I untuk mengatasi swellignclay yang dapat dilihat dari daily fluid report yang terdapat pada lampiran, komposisi lumpur pemboran sumur NR-30HZ ini khususnya densitas 9,3 ppg mg/I sama dengan 49,4 Ib/bbl. Untuk mengatasi swelling clay (lihat lampiran sifat fisik KCI pada berbagai densitas lumpur pemboran). Sedangkan konsentrasi KCI 10.200mg/I -18.000mg/I baiknya digunakan pada densitas lumpur 8.37-8.42ppg
                Sesudah memahami karakteristik hidrasi ialah mengetahui macam additif penghambat shale ,zat-zat tersebut dapat diklasifikasikan kedalam empat kelompok, yaitu :
§  Ion Potassium \
§  Polimer
§  Ion Cholorida
1.      Sodium Asphalt sulfonate
Sistem lumpur PHPA mrupakan salah satu sistem lumpur yang menggunakan ion potassium (K+). Ion Potassium Yang Digunakan Untuk Mensubtitusikan Ion Tersebut Mempunyai diameter terhidrasi yang kecil, sehingga dapat mengurangi atau boleh dikatakan menghilangkan daya swelling yang terdapat pada shale. Sumber ion potassium tersebut bisa didapatkan KCI. Lumpur PHPA didesain sebagai penstabil shale. Ini merupakan sistem lumpur water base mud yang paling efektif dalam mengatasi gangguan pada lubang bor, terutama yang disebabkan oleh shale. Penerapan penggunaan konsentrasi seara tepat akan meminimalkan masalah pemboran, penyemenan yang lebih baik dan berkurangnya kerusakan formasi karena adanya ion potassium, dan sifat lumpur itu yang tidak melarutkan. Lumpur PHPA ini sesuai untuk mencegah masalah shale, ketidakstabilan lubang bor sering terjadi pada lapisan shale yang bertekanan abnormal. Pemecahan dari kasus tersebut pada dasarnya adalah secara fisik atau mekanik, dan tidak berhubungan dengan komposisi kimia dari sistem lumpur. Jika pada shale benar-benar terjadi tekanan yang abnormal, maka pemecahanya adalah dengan mnaikkan tekanan hidrostatik dalam lubang bor untuk mengimbangi tekanan formasi.
    Mineral clay umumya ditemukan pada hampir semua trayek pemboran. Mineral clay terutamam bentonite digunakan sebagai sifat pengontrol adalah attapulgite. Hidrasi dari bentinite yang menyebabkan terjadi8nya swelling, memiliki efek positif dalam pembuatan lumpur pemboran, sedangkan hidrasi pada formasi yang mengandung clay dapat menimbulkan ketidakstabilan yang serius pada lubang bor.
Mineral clay umumnya ditemukan pada saat pemboran menjumpai smectite, hanya smectite yang memperlihatkanswelling yang cukup besar dari hasil hidrasi. Pada studi pemboran yang lebih mendalam, ditegaskan bahwa hidrasi dan swelling berhubungan dengan kandungan smectite. Smectite menyerupai lempeng tipis secara normal tersusun seperti bungkusan . lempeng ini sebenarnya terdiri dari tiga lapisan struktur : silica – allimina silica, yang disebut sebagai lapisan unit. Kation yang paling umum terdapat pada lempeng tersebut sodium, calsium, dan pottasium. Masing-masing kation memi8liki diameter terhidrasi yang berlainan.
Penambahan kation potassium pada sistem lumpur umumnya akan mengurangi jumlah swelling pada clay, melalui hasil dari pergantian ion-ion yang terdapat pada basal plane, ion potassium terbukti sangat efektif untuk tidak hanya monovalen Na+, tetapi juga dwivalen Ca++ . bentuk lumpur potassium ini sangat penting, karena banyaknya mineral clay, terutama smectite yang diketemukan dalam operasi pemboran. Manfaat lain dari potassium adalah sifatnya yang mempunyai hidrasi terbatas dan juga ionya yang sangat sulit untuk berpindah. Jadi secara potensial dapat menstabilkan formasi, terutama yang mengandung mineral clay. Sistem lumpur KCI – PHPA merupakan sistem water base mud, yang dapat ditambahkan aditif-aditif yang diperlukan. Tujuan perencanaan lumpur water base mude dengan inhibitor KCI polimer antara lain:
·         Menurangi efek negatif lapisan shale yang sensitif terhadap air.
·         Pengontrolan sifat fisik dan kimia (additif) lumpur lebih sederhana pengadaanya lebih mudah (availabel)
·         Kompensasi biaya yang relatif murah jika terjadi problem
·         Treatment (conditioning area) dipermukaan relatif lebih mudah.
                Untuk tujuan mengantiipasi dan memperkecil terjadinya hidrasi antar plat-plat clay yang ada, kedalam suspensi lumpur diupayakan penambahan CaCI2 dan atau KCI (salinity source) dan barite sebagai aplikasi pengontrolan sifat lumpur (tretment) terhadap penanggulanganya problem shale.
                Penambahan CaCI2 dalam water base mud dimaksudkan agar kation C++ dan atau K++  akan menggantikan kation Na+ yang terdapat pada plat-plat clay, sehingga daya pengembanganya (swelling) akan mengecil, sedangkan kadar CI+ akan menaikan salinitas lumpur dan berfungsi sebagai elektrolit sehingga dapat menghalangi pelepasan kation-kation dari plat-plat clay dan akibatnya daya pengembangan kan mengecil. Selain itu, CaCI2 dan KCI juga berfungsi menghidrasi fluida formasi kedalam lumpur sehingga lapisan tetap stabil dan relatif kering. Sedangkan barite untuk menaikkan berat jenis lumpur (weightning agent), berfungsi untuk menahan tekanan formasi (shale) dengan peningkatan tekanan hidrostatik lumpur saat sirkulasi.z
               










BAB V
KESIMPULAN
Data evaluasi yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan :
1.      Hasil Nilai CEC hasil uji methylene blue sumur NR-30HZ untuk formasi telisa adalah 8,775 meq/100gr merupakan jenis clay bertstruktur keras yang didominasi oleh mineral monmorilonite dimana formasi ini berpotensi terjadi swelling clay.
2.      Dari data daily fluid report untuk mengatasi swelling clay pada sumur NR-30HZ digunakan lumpur KCI dengan konsentrasi 10.200mg/I sampai 18.000mg/I yng densitas lumpurnya 9.3ppg
3.      Pada formasi telisa ini terjadi shale problem karena filtrate lumpur yang terhidrat oleh clay yang reaktif terhadap air, yang ditandai adanya ukuran cutting yang yang besar dengan ukuran berkisar 2-3,5 cm saat didistribusikan kepermukaan. Pump pressure naik, sirkulasi cutting yang tidak lancer dianulus, terjepitnya rangkaian drill string pada kedalaman 2079 ft pada trayek 12-1/4” yang menembus formasi telisa yang didominasi lapisan shale dengan ketebalan 517 ft.
4.      Penggunaan KCI dari 10.200 mg/I sampai 18.000 mg/I untuk mengatasi swelling clay pada sumur NR-30HZ, konsentrasinya masih kurang karena konsentrasi KCI ini sebaiknya digunakan pada densitas lumpur 8.37ppg/sd 8.42 ppg, dari komposisi lumpur yang digunakan pada densitas lumpur 9.3ppg sebaiknya penggunaan konsentrasi KCI adalah 49.4Ib/bbI (140,900 mg/I)
DAFTAR PUSTAKA

1.      Milpark Drilling Fluida “PT. Ciba pemenang Menkarya”.
2.      Mufhasal, Mufti., g “laporan tugas akhir”
“penggunaan Lumpur KCI Polimer pada pemboran Lubang 17-1/2” di sumur MG-01, PT. Pertamina EP”
3.      Mud Log NR-28 (L5A-266), “PT. Mitramandala Nusabhakti” “ 1 September 2011.
4.      “Program Lumpur Pemboran Sumur NR-30HZ” PT. Pertamina Drilling Services Indonesia Area Sumbagsel”, CPM Drilling Fluids, PT. Ciba Pamenang Menkaraya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar